ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA
1. ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA
1. Pengertian
Pembelajaran bahasa pada dasarnya
adalah proses mempelajari bahasa. Dalam mempelajari bahasa tentu tidak luput
dari kesalahan. Corder (1990:62) menyatakan bahwa semua orang yang belajar
bahasa pasti tidak luput dari kesalahan. Ingatlah bahwa kesalahan itu sumber
inspirasi untuk menjadi benar.
Studi
mengenai kesalahan dan hubungannya dengan pengajaran bahasa perlu digalakkan
sebab melalui kegiatan kajian kesalahan itu dapat diungkapkan berbagai hal
berkaitan dengan kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa atau pembelajar.
Apabila kesalahan-kesalahan itu telah diketahui, dapat dugunakan sebagai umpan
balik dalam penyempurnaan pengajaran bahasa.
Hubungan antara pengajaran bahasa
dengan kesalahan berbahasa itu sangat erat. Bahkan Tarigan (1990: 67)
mengatakan bahwa hubungan keduanya ibarat air dengan ikan. Sebagaimana ikan
hanya dapat hidup dan berada di dalam air, begitu juga kesalahan berbahasa
sering terjadi dalam pembelajaran bahasa.
Para
pakar linguistik dan para guru bahasa Indonesia sependapat bahwa kesalahan
berbahasa itu mengganggu pencapaian tujuan pengajaran bahasa. Oleh sebab itu,
kesalahan berbahasa yang sering dibuat siswa harus dikurangi dan dihapuskan.
Kesalahan
berbahasa merupakan suatu proses yang didasarkan pada analisis kesalahan siswa
atau seseorang yang sedang mempelajari sesuatu, misalnya, bahasa. Bahasa itu
bisa bahasa daerah, bahasa Indonesia, bisa juga bahasa asing.
Kemampuan
menguasai bahasa secara baik dapat dilakukan seseorang dengan cara
mempelajarinya, yaitu berlatih berulang-ulang dengan pembetulan di sana-sini.
Proses pembelajaran ini tentunya menggunakan strategi yang tepat agar dapat
memperoleh hasil yang positif.
Analisis
kesalahan berbahasa, ditujukan kepada bahasa yang sedang dipelajari atau
ditargetkan sebab analisis kesalahan dapat membantu dan bahkan sangat berguna
sebagai kelancaran program pengajaran yang sedang dilaksanakan. Maksudnya,
dengan analisis kesalahan para guru dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi
siswa.
Kesalahan
itu biasanya ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan yang berlaku dalam
bahasa yang sedang dipelajari. Jika kata atau kalimat yang digunakan siswa atau pembelajar tidak
sesuai dengan kaidah yang berlaku, maka pembelajar bahasa dikatakan membuat
kesalahan.
Dalam
kaitannya dengan pengertian analisis kesalahan, Crystal (dalam Pateda,1989:32)
mengatakan bahwa analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasikan,
mengklasifikasikan, dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan
yang dibuat siswa yang sedang belajar bahasa kedua atau bahasa asing dengan
menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistik.
Tarigan
(1990:68) juga mengatakan bahwa analisis kesalahan berbahasa adalah suatu
proses kerja yang digunakan oleh para guru dan peneliti bahasa dengan
langkah-langkah pengumpulan data, pengidentifikasian kesalahan yang terdapat di
dalam data, penjelasan kesalahan kesalahan tersebut, pengklasifikasian
kesalahan itu berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian taraf keseriusan
kesalahan itu.
Kesalahan berbahasa itu bisa terjadi
disebabkan oleh kemampuan pemahaman siswa atau pembelajar bahasa. Artinya,
siswa memang belum memahami sistem bahasa yang digunakan. Kesalahan biasanya
terjadi secara sistematis. Kesalahan jenis ini dapat berlangsung lama bila
tidak diperbaiki. Perbaikannya biasanya dilakukan oleh guru. Misalnya, melalui
pengajaran remidial, pelatihan, praktik, dan sebagainya. Kadangkala sering
dikatakan bahwa kesalahan merupakan gambaran terhadap pemahaman siswa akan
sistem bahasa yang sedang dipelajari. Bila tahap pemahaman siswa akan sistem
bahasa yang dipelajari ternyata kurang, kesalahan akan sering terjadi.
Kesalahan akan berkurang bila tahap pemahamannya semakin baik.
2. BAHASA
INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR
Bahasa Indonesia yang Baik
Bahasa
Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma
kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam situasi santai dan akrab, seperti
di warung kopi, di pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola
hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang santai dan akrab yang tidak terlalu
terikat oleh patokan. Dalam situasi resmi, seperti dalam kuliah, dalam seminar,
dalam sidang DPR, dan dalam pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa
Indonesia yang resmi, yang selalu memperhatikan norma bahasa.
Bahasa Indonesia yang Benar
Bahasa
Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan
kaidah atau aturan bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu
meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat,
kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika ejaan digunakan
dengan cermat, kaidah pembentukan kata diperhatikan dengan saksama, dan
penataan penalaran ditaati dengan konsisten, pemakaian bahasa Indonesia dikatakan
benar. Sebaliknya, jika kaidah-kaidah bahasa itu kurang ditaati, pemakaian
bahasa tersebut dianggap tidak benar.
Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa
Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku dan
sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Pemakaian lafal daerah,
seperti lafal bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Batak dalam berbahasa Indonesia
pada situasi resmi sebaiknya dikurangi. Kata memuaskan yang diucapkan memuasken
bukanlah lafal bahasa Indonesia.
Pemakaian
lafal asing sama saja salahnya dengan pemakaian lafal daerah. Ada orang yang
sudah biasa mengucapkan kata logis dan sosiologi menjadi lohis dan sosiolohi.
Jika demikian, bagaiman dengan kata gigi? Apa dilafalkan hihi?
3. KESALAHAN
PENERAPAN KAIDAH EJAAN
Pada bagian ini dibahas tentang
kesalahan-kesalahan penerapan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
yang sering kita jumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia. Setelah disajikan
bentuk-bentuk yang salah (nonbaku), disajikan pula bentuk-bentuk yang benar
(baku) sebagai perbaikanya. Mudah-mudahan bentuk-bentuk perbaikan itu akan
mengingatkan kita semua, pemakai bahasa, selalu berhati-hati dalam menerapkan
kaidah ejaan ini. Hal ini disajikan secara rinci di bawah ini.
1. Pelafalan
1. Memuaskan
Dalam bahadasa Indonesia terdapat akhiran –kan,
bukan –ken. Sesuai dengan tulisannya, akhiran itu tetap dilafalkan
dengan [-kan], bukan [-ken]. Sementara ini memang ada orang yang melafalkan
kata seperti memuaskan dengan
[memuasken], diharapkan dengan
[diharapken], diperhatikan dengan [diperhatiken]. Akan tetapi, pelafalan
seperti itu jelas tidak tepat karena dalam bahasa Indonesia apa yang ditulis
itulah yang dilafalkan.
Timbulnya
pelafalan yang tidak tepat itu di samping dipengaruhi oleh idiolek seseorang,
juga besar kemungkinan dipengaruhi oleh lafal bahasa daerah. Sungguhpun
demikian, pemakai bahasa yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia
tentu tidak akan mengikuti cara pelafalan yang tidak tepat. Sebaliknya akan
terus berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Indonesia, termasuk
dalam pelafalannya.
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar memang
tidak semudah yang diduga orang. Kendati demikian, dalam berbahasa, terutama
dalam situasi yang resmi, lazimnya orang selalu berusaha menggunakan bahasa
sebaik-baiknya, baik dalam penggunaan kaidah tata bahasa maupun pelafalannya.
Masyarakat
kita yang berlatar belakang bahasa pertama bahasa daerah tampaknya memang
sering mengalami kesulitan dalam menghilangkan pengaruh bahasa daerahnya ketika
berbahasa Indonesia. Pengaruh itu terutama terlihat jelas dalam pelafalannya.
“Penyakit” itu agaknya tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, tetapi juga
pada orang tertentu yang kebetulan menjadi pejabat pemerintah. Contohnya tidak
hanya pada kata tersebut di atas, tetapi juga pada kata lain, seperti makin,
malam, kedudukan. Menurut aturan lafal bahasa Indonesia, kata-kata itu
seharusnya dilafalkan dengan [makin], [malam], [kedudukan], bukan dengan [mangkin],
[malem], [kedudu’an]. Lafal yang
terpengaruh bahasa daerah itu dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik harus
kita hindari karena lafal bahasa Indonesia yang baik adalah lafal yang tidak
menampakkan pengaruh atau atau ciri-ciri lafal daerah atau dialek tertentu.
2. Energi
Kata energi sering dilafalkan
dengan [energi], [enerkhi], dan
[enerji]. Kata energi dalam bahasa Indonesia diserap dari kata asing energie
(Belanda) atau energy (Inggris). Sesuai dengan nama huruf di dalam abjad
bahasa Indonesia, huruf g tetap
dilafalkan dengan [g], bukan [kh] atau [j], begitu pula halnya dengan huruf g
yang terdapat pada kata energi.
Oleh karena itu, pelafalan yang baku untuk kata energi adalah [energi],
bukan [enerkhi] atau [enerji].
Pelafalan
g dengan [kh] diduga merupakan pengaruh dari lafal bahasa Belanda, sedangkan
dengan [j] diduga merupakan pengaruh dari lafal bahasa Inggris. Dalam berbahasa
Indonesia yang baik, pelafalan yang terpengaruh bahasa asing itu patut kita
hindari karena lafal bahasa Indonesia yang baik adalah lafal yang tidak
menampakkan pengaruh dari bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing.
Beberapa
contoh pelafalan kata yang serupa dapat diperhatikan di bawah ini.
Kata Lafal
Baku Lafal Tidak
Baku
biologi [biologi] [biolokhi], [bioloji]
teknologi [teknologi] [tehnolokhi], [tehnoloji],
[teknoloji]
filologi [filologi] [filolokhi], [filoloji]
sosiologi [sosiologi] [sosiolokhi], [sosioloji]
fonologi [fonologi] [fonolokhi], [fonoloji]
3. Huruf e
Huruf
e dalam bahasa Indonesia mempunyai tiga macam bunyi, yaitu [e], [ ], dan [ ].
Ktiga bunyi itu penulisannya tidak dibdakan dan dilambangkan dengan satu huruf,
yaitu e. Oleh sebab itu, kemungkinan para pemakai bahasa melafalkan huruf itu
secara tidak tepat sudah merupakan suatu hal yang dapat diduga.
Kesalahan
yang banyak kita dengar dewasa ini adalah bercampuraduknya bunyi e pepet
[ ] dan e benar [e] . Kata-kata yang
seharusnya dilafalkan dengan e pepet dilafalkan orang dengan e benar, demikian
juga sebaliknya.
Pada kata teras huruf e dapat
dilafalkan dengan e benar/taling) [e] atau e pepet [ ] dengan makna yang berbeda. Jika dilafalkan
dengan dengan e taling, kata teras
berarti serambi atau emper, sedangkan jika dilafalkan dengan e pepet kata teras berarti ‘inti’, misalnya pejabat
teras berarti ‘pejabat inti’.
Kata-kata seperti pegang, kemana, mengapa yang seharusnya
dilafalkan dengan e pepet, sering
dilafalkan dengan e keras/taling. Sebaliknya, kata-kata seperti lengah, ide yang semestinya dilafalkan dengan e keras, dilafalkan dengan e
pepet.
Kata esa pada Tuhan Yang Maha Esa sering dilafalkan dengan orang dengan
e benar. Lafal yang benar adalah dengan bunyi e pepet karena e pada awal kata
itu lemah bunyinya. Bunyi e itu lama kelamaan hilang lalu esa menjadi sa. Dalam
bahasa Indonesia sa itu berubah menjadi
se dan karena terdiri atas satu suka
kata, dittuliskan sebagai awalan seperti kita lihat pada kata-kata sebatang, sebuah, semalam, sehari;
artinya ‘satu’.
4. Pasca dan Civitas academika
Kata
pasca dan civitas academica berasal dari bahasa yang berbeda.
Kata pasca berasal dari bahasa Sansekerta, sedangkan civitas
academica dari bahasaLatin. Oleh karena asalnya berbeda, cara melafalkannya
pun tidak sama.
Huruf
c pada kata pasca, sesuai dengan
bahasa asalnya, dilafalkan [c], bukan [k]. Sejalan dengan itu, kata pasca
pun dalam bahasa kita dilafalkan dengan [pasca], bukan [paska], misalnya pada pascapanen
[pascapanen] dan pascasarjana [pascasarjana]. Di dalam kamus pun tidak
ada keterangan yang memberi petunjuk bahwa pasca harus dibaca dengan
[paska]. Oleh karena itu, pascapanen dan pascasarjana tidak
dilafalkan dengan [paskapanen] dan [paskasarjana], tetapi dilafalkan dengan
[pascapanen] dan [pascasarjana]. Bandingkan pelafalan pasca dengan panca,
yang juga merupakan unsur serapan dari bahasa yang sama, yaitu Sansekerta.
Dalam hal ini panca pun dilafalkan dengan [panca], bukan [panka],
misalnya pada kata pancasila dan pancakrida.
Huruf
c dari bahasa Latin, seperti
halnya dari bahasa Inggris, tidak dolafalkan dengan {c], tetapi di satu pihak
huruf itu dapat dilafalkan dengan [s], dan di pihak lain dapat pula dilafalkan
dengan [k]. Huruf c asing, sesuai dengan penyerapannya, dilafalkan dengan [s]
jika huruf itu terdapat di muka e, i, oe, dan y.
Misalnya:
cent ------ sen
central
-------- sentral
circulation
----- sirkulasi
coelom -------- selom
cylinder-------- silinder
Adapun c asing dilafalkan dengan [k] jika huruf
itu terletak di muka a, u, o dan konsonan.
corelation ---------- korelasi
calculation ---------- kalkulasi
cubic ---------- kubik
construction ---------- konstruksi
classification ---------- klasifikasi
Sejalan dengan keterangan itu, huruf c pada
civitas pun dilafalkan dengan [s] karena terletak di muka i, tetapi pada
academica c dilafalkan dengan [k] karena terletak di muka a. Dengan demikian, civitas
academica dilafalkan dengan [sivitas akademika], bukan [civitas academica].
5. Singkatan cm dan ca
Cm dan ca merupakan
singkatan dari centimeter dan calcium. Kedua istilah itu telah
diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi sentimeter dan kalsium.
Sungguhpun demikian, singkatannya tetap dipertahankan sesuai dengan
singkatan asingnya karena pemakaian singkatan itu sudah bersifat internasional.
Jadi, dalam bahasa Indonesia pun bentuk singkatan itu tetap cm dan ca,
tidak diubah menjadi sm dan ka.
Dalam
kaitannya dengan pelafalan perlu diketahui bahwa singkatan lazimnya dilafalkan
dengan dua cara, yaitu ada yang dilafalkan denga huruf demi huruf, misal SD
dengan [es-de], dan ada pula yang dilafalkan dengan mengikuti bentuk
lengkapnya, misalnya, dsb., dan a.n. Yang dilafalkan dengan [dan sebagainya]
dan [atas nama], bukan [de-es,be] dan [a-en]. Sejalan dengan itu, cm dan ca
termasuk singkatan yang dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya. Oleh karena
itu, cm dan ca tidak dilafalkan dengan [ce-em] dan [ce-a], tetapi dengan
mengikuti bentuk lengkapnya yang telah disesuaikan dengan ejaan bahasa
Indonesia, yaitu [sentimeter] dan [kalsium].
Singkatan
lain, yang dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya seperti di bawah ini.
Singkatan
Pelafalannya
Sdr.
[saudara]
dst.
[dan
seterusnya]
ybs. [yang
bersangkutan]
tsb. [tersebut]
d.a. [dengan
alamat]
dll.
[dan
lain-lain]
6. Singkatan dan Akronim Asing
Singkatan dan akronim asing
pelafalannya diperlakukan agak berbeda dengan singkatan dan akronin bahasa
Indonesia. Sebagai singkatan, huruf dari bahasa mana pun dilafalkan
menurut abjad bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, singkatan asing pun dilafalkan seperti halnya lafal bahasa
Indonesia.
Misalnya:
Singkatan Lafal
Baku Lafal Tidak Baku
FAO
[ef-a-o] [ef-ey-ow]
IGGI
[i-ge-ge-i] [ay-ji-ji-ay]
DO
[de-o] [di-ow]
BBC [be-be-ce] [bi-bi-si], [be-be-se]
AC
[a-ce] [ey-si], [a-se]
WC
[we-ce] [we-se], [dablyu-si]
TV
[te-ve] [ti-vi]
TVRI
[te-ve-er-i] [ti-vi-er-i]
Dahulu,
ketika bahasa Indonesia masih menggunakan ejaan lama, singkatan BBC, AC, dan
WC, pelafalannya [be-be-se], [a-se], dan [we-se] karena pelafalan itu sesuai
dengan nama huruf c dalam ejaan lama,
yaitu se. Akan tetapi, sejak EYD diresmikan dan nama huruf c diubah
menjadi [ce]. Dengan demikian, BBC, AC, dan WC, pelafalannya yang baku adalah
[be-be-ce].[a-ce], dan [we-ce] karena disesuaikan dengan nama hurf c yaitu ce,
sedangkan [be-be-se], [a-se], dan [we-se] dipandang sebagai lafal yang tidak
baku.
Dalam
hubungan itu, singkatan asing tidak dilafalkan dengan lafal asingnya karena
dapat menyulitkan para pemakai bahasa Indonesia. Jika singkatan dari bahasa
Inggris harus dilafalkan menurut huruf dalam bahasa Inggris, misalnya,
bagaimana kalau kita dihadapkan pada singkatan dari bahasa asing yang lain,
seperti Prancis, Rusia, Jerman, dan Jepang? Berapa banyak masyarakat kita yang
mengenal nama huruf di dalam bahasa-bahasa itu? Bagaimana pula melafalkan huruf
dalam bahasa-bahasa itu, tentu tidak banyak yang tahu.
Dengan
pertimbangan bahwa orang Indonesia yang paham bahasa Indonesia dengan abjadnya
lebih banyak daripada jumlah orang yang mengenal bahasa asing dengan abjadnya,
sebaiknyalah singkatan dari bahasa mana pun, demi kejelasan informasi yang akan
disampaikan kepada masyarakat luas, dilafalkan menurut nama huruf yang terdapat
dalam abjad bahasa Indonesia. Jadi,
singkatan asing yang terdapat dalam bahasa Indonesia tetap dilafalkan sesuai
dengan lafal bahasa Indonesia.
Berbeda
halnya dengan singkatan, akronim lazimnya dipandang seperti kata biasa. Dalam
hal ini, akronim asing pun dipandang identik dengan kata asing. Kalau kata asing dilafalkan mengikuti lafal
aslinya, akronim asing pun dilafalkan sesuai dengan lafal akronim itu dalam
bahasa asalnya. Dengan demikian, akronim asing yang digunakan dalam bahasa
Indonesia, terutama yang pemakaiannya sudah bersifat internasional, dilafalkan
sesuai dengan lafal bahasa aslinya.
Misalnya”
Akronim
Lafal Baku Lafal Tidak Baku
Unesco
[yunesko] [unesko]
Unicep
[yunisyep] [unicep]
Di
samping akronim dan kata asing, unsur
serapan yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, yang masih
ditulis dengan ejaan asing pelafalannya pun disesuaikan dengan lafal bahasa
asingnya.
Misalnya:
reshufle
tetap dilafalkan [riesafel]
shuttlecock
tetap dilafalkan [syatelkak]
7. Angka Tahun dan Angka 0
Sampai saat ini pelafalan angka tahun
dan angka memang cukup bervariasi. Tahun 1989, misalnya, ada yang melafalkan
dengan [satu-sembilan-delapan-sembilan] atau angka demi angka, tetapi ada pula
yang melafalkannya dengan [sembilan belas-delapan sembilan]. Di samping itu,
juga tidak sedikit yang melafalkannya dengan [seribu sembilan ratus delapan
puluh sembilan]. Dari berbagai variasi itu, pelafalan yang dipandang resmi
adalah yang terakhir, yaitu seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan.
Pelafalan itu pulalah yang sebaiknya digunakan, sedangkan dua pelafalan lainnya
dipandang tidak baku.
Angka
0 berarti ‘kosong’ atau ‘tidak ada apa-apanya’. Dalam bahasa kita pelafalan
angka itu yang sebaiknya digunakan adalah [nol], bukan [kosong]. Misalnya,
nomor telepon 306039 dilafalkan dengan [tiga-nol-enam-nol-tiga-sembilan], bukan
[tiga-kosong-enam-kosong-tiga-sembilan].
Pelafalan
angka 0 dengan [kosong] kemungkinan dipengaruhi oleh bahasa Inggris zero, yang
dalam bahasa kita memang sering diterjemahkan dengan kosong.
8. Bank
Kata bank termasuk kata atau istilah asing yang telah
diserap ke dalanm bahasa Indonesia. Namun ejaan asingnya masih dipertahankan
untuk membedakannya dnegan kata Indonesia bang atau abang yang
merupakan kata penunjuk hubungan kekerabatan yang dipakai sebagai sapaan.
Kata
bank dilafalkan dengan [bang] atau [bangk]. Bunyi [k] pada akhir kata
itu sering tidak begitu jelas. Akan tetapi, apabila kata itu mendapat imbuhan per-an,
bunyi [k] akan muncul kembali sehingga menjadi [perbangkan].
9. Masalah
Kata
masalah diserap dari bahasa Arab, Dalam bahasa Indonesia konsonan yang
diapit oleh vokal, dilafalkan mengikuti vokal berikutnya. Oleh sebab itu,
pelafalan kata masalah yang sesuai dengan lafal bahasa Indonesia
adalah [ma-sa-lah], sedangkan [mas-a-lah] merupakan lafal dipengaruhi oleh
bahasa asalnya, yaitu Arab.
2. Penulisan
1. Sudahkah anda membayar PBB?
Penulisan
kata anda di atas tidak sesuai dengan kaidah penulisan huruf kapital. Menurut
aturan yang berlaku, kata tersebut mesti diawali dengan huruf kapital A
sehingga menjadi Anda karena kata tersebut termasuk kata sapaan. Beberapa
kaidah penulisan huruf kapital adalah sebagai berikut.
- Huruf besar atau huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kalimat yang berupa petikan langsung. Marilah kita lihat dahulu contoh yang salah.
Bentuk Salah
(1) Adik bertanya, “kapan kakak
pulang?”
(2) Guru mereka menasihatkan,”rajin-rajinlah
kamu belajar agar lulus dalam ujian.”
Huruf-huruf yang dicetak
miring di atas (k pada kapan, r pada rajin) jelas tidak sesuai dengan kaidah
ejaan karena huruf-huruf itu mengawali petikan langsunb. Perbaikannya adalah
seperti di bawah ini.
Bentuk Benar
(1a) Adik bertanya, “Kapan
Kakak pulang?”
(2a) Guru
mereka menasihatkan, rajin-rajinlah kamu belajar agar lulus dalam ujian.”
Catatan:
Tanda baca
sebelum tanda petik awal adalah tanda koma(,) bukan titik dua (:)
4. BENTUK BAKU
DAN TIDAK BAKU
Bahasa yang mantap mengenal
satu kata untuk konsep tertentu. Artinya, satu pengertian dinyatakan oleh satu
kata atau satu bentuk tertentu, tidak boleh beberapa bentuk yang mirip.
Haruslah ditentukan mana bentuk yang baku dan mana bentuk yang nonbaku,
sehingga di dalam tuturan resmi, hanya bentuk baku itulah yang digunakan.
Beberapa bentuk kembar disajikan sebagai berikut.
1. analisa dan analisis
Dewasa ini masih tetap
dipertanyakan orang tentang bentuk kata yang berbunyi akhir –a atau –is
seperti analisa dan analisis. Sampai sekarang ini masih tetap
kita lihat dua bentuk itu dipakai orang secara bergantian. Ada orang yang
menggunakan bentuk analisa, tetapi ada juga orang yang menggunakan analisis.
Secara historis, kata itu
dahulu diserap dari bahasa Belanda: analyse. Karena dalam bahasa
Indonesia tidak terdapat kata yang berakhir dengan bunyi /e/, maka /e/ pada akhir kata itu diganti dengan
bunyi /a/, lalu kedua patah kata itu dijadikan analisa.
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, sebuah lembaga di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan
Depetemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang “mengurus” bahasa dan pekerjaannya
antara lain membentuk istilah, menetapkan : 1) sebaiknya dalam membentuk
istilah yang mengambil dari bahasa asing, kita mendahulukan bahasa Inggris
karena bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama dalam pendidikan di
Indonesia; 2) sebaiknya dalam mengindonesiakan kata asing (bila tidak ditemukan
padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah) diusahakan
agar ejaannya dekat dengan ejaan bahasa asalnya, artinya, yang diganti hanyalah
yang perlu saja. Pada saat ini
ditetapkan bahwa yang digunakan sebagai acuan
adalah bahasa bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris terdapat bentuk analysis.
Oleh karena itu, bentuk analysis-lah
yang diserap dan dindonesiakan menjadi analisis.
Alasan mengacu kepada bahasa
Inggris ini didasarkan kepada pendirian bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang
sifatnya internasional dan dekat kepada generasi seakarang maupun generasi yang
akan datang. Bahasa Belanda tidak lagi dikenal oleh generasi muda dan agar
pembentukan kata-kata Indonesia nanti tidak menjadi bersifat mendua, lebih baik
kita mengacu kepada satu bahasa saja, yaitu bahasa Inggris. Pendirian ini
memang tidak selalu bertaat asas secara ketat sebab dalam kenyataannya banyak
kata yang berasal dari bahasa Belanda tidak diubah lagi karena kata-kata itu
sudah melembaga dalam bahasa Indonesia. Hanya sebagian kecil saja yang diubah.
Mengubah sesuatu yang sudah
melembaga dan sudah sangat biasa digunakan oleh pemakai bahasa memang tidak
mudah. Buktinya dapat kita lihat pada kedua patah kata yang sudah kita
bicarakan itu. Bentuk analisis sudah tinggi kekerapan pemakaiannya di
kalangan perguruan tinggi, tetapi di luar itu masih lebih banyak digunakan
bentuk analisa. Jika bentuk analisis yang kita gunakan sebagai
bentuk dasarnya, maka kata bentukannya dengan imbuhan bahasa Indonesia (awalan,
akhiran) harus pula sejalan dengan bentuk dasar itu. Jadi, menganalisis,
dianalisis, penganalisisan, bukan menganalisa, dianalisa, penganalisaan.
Penggunaan bentuk baru yang sudah ditetapkan ini tentu perlu dipatuhi dan
melalui pembiasaan, lama kelamaan kita akan terbiasa menggunakan bentuk yang
baru itu.
2. anarkis dan anakistis
Dalam
berbahasa, kata anarkis tampaknya lebih banyak digunakan daripada anarkistis.
Kedua kata itu sering digunakan dalam pengertian yang tertukar. Sebagai contoh,
perhatikan kalimat berikut.
1. Para demonstran diharapkan tidak melakukan
tindakan yang anarkis.
Kata
anarkis pada kalimat itu tidak tepat. Untuk mengetahui hal itu, kita
perlu memahami pengertian kata anarkis.
Kata
anarkis (anarchist) berkelas nomina dan bermakna’penganjur (penganut)
paham anarkisme’ atau’ orang yang melakukan tindakan anarki’. Dari pengertian
tersebut ternyata anarkis bermakna ‘pelaku’, bukan ‘sifat anarki’.
Padahal, kata yang diperlukan dalam kalimat tersebut adalah kata sifat untuk
melambangkan konsep ‘bersifat anarki’. Dalam hal ini, kata yang menyatakan ‘sifat
anarki’ adalah anarkistis, bukan anarkis. Kata anarkis sejalan
dengan linguis ‘ahli bahasa’ atau pianis ‘pemain piano’, sedangkan anarkistis
sejalan dengan optimistis ‘bersifat optimis’ dan pesimistis ‘bersifat
pesimis’ Dengan demikian, kata anarkis pada kalimat tersebut lebih baik
diganti dengan anarkistis sehingga kalimatnya menjadi sebagai berikut.
1a. Para demonstran diharapkan tidak melakukan
tindakan yang anarkistis.
3. antri dan antre
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988),
kata yang baku adalah antre (dengan e) yang berarti ‘berdiri
berderet-deret menunggu giliran. Penulisan antri’ (dengan i) adalah
bentuk yang tidak baku.
4. anutan dan panutan
Akhiran
–an yang melekat pada kata kerja mengandung arti antara lain, ‘hasil
atau ‘yang di’, seperti tampak pada kata tulisan ‘hasil menulis’
atau ‘yang ditulis’; karangan ‘hasil mengarang’ atau ‘yang dikarang’; rangkuman
‘hasil merangkum’ atau ‘yang dirangkum’; simpulan ‘hasil menyimpulkan’
atau ‘yang disimpulkan’. Kata anutan, bukan panutan sebab berasal
dari kata anut yang mendapat akhiran –an, yang berarti ‘hasil
menganut’ atau ‘yang dianut’. Dengan demikian, bentukan panutan
merupakan bentukan yang salah kaprah.
5. ahli dan akhli
Kata ahli merupakan serapan dari kata
bahasa Arab. Kata akhli tidak baku karena mengandung konsonan k. Padahal dalam
kata sumbernya tidak berhuruf konsonan k. Kata ahli berrati ‘orang yang mahir’
atau paham sekali dalam suatu ilmu.
6. akta dan akte
Kata
akta merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu act.
Penyerapannya dengan cara mengganti huruf
konsonan c dengan huruf konsonan k dan membubuhkan huruf
vokal a pada akhir kata itu sehingga terbentuklah akta. Hal itu
mengingatkan kita pada proses pembakuan sejumlah kata yang setipe, misalnya
kata legenda sebagai kata baku merupakan serapan dari kata legend
(Inggris), kata norma sebagai kata baku merupakan serapan dari kata norm
(Inggris), sketsa sebagai kata baku merupakan serapan dari kata scats
(Inggris).
Kita
ketahui bahwa kata akte merupakan serapan dari kata bahasa Belanda,
yaitu akte. Dalam hal ini, yang dikembangkan pemakaiannya adalah akta,
seperti halnya kata legenda. Padahal, dalam bahasa Belanda ditemukan
kata legende. Atas dasar pertimbangan itu, diketahui bahwa kata yang
baku ialah akta, sedangkan kata yang tidak baku adalah akte. Kata
akta berrati ‘surat tanda bukti berisi pernyataan resmi yang dibuat
menurut peraturan yang berlaku’.
7. cedera dan cidera
Bentuk
cedera merupakan kata bahasa Indonesia dan pemakaiannya sangat lazim.
Oleh karena itu, kata yang baku ialah cedera. Kata cidera
termasuk kata yang tidak baku karena tingkat kelazimannya di bawah kata cedera.
Kata cedera berarti ‘cacat sedikit’.
8. colok pada menyolok dan mencolok
Fonem
/c/ pada kata dasar banyak yang menjadi luluh apabila mendapat awalan meN-,
seperti pada bentuk menyolok. Padahal, fonem ini tidak luluh apabila mendapat
awalan meN-, seperti kita juga tidak pernah mengatakan menyukur atau menyari,
tetapi mencukur atau mencari.
Dalam
bahasa lisan yang tidak resmi memang sering digunakan bentuk-bentuk seperti
itu. Akan tetapi, dalam ragam tulis baku, bentuk bentuk itu mencolok,mencuci,
mencicil.
9. darma dan dharma
Kata
darma merupakan kata yang diserap dari bahasa Sansekerta dharma.
Kata ini disesuaikan ejaannya dengan kaidah ejaan bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, bentuk yang baku ialah darma. Sebaliknya, kata dharma tidak
baku karena ejaannya belum sesuai dengan kaidah ejaan bahasa Indonesia. Kata darma
mengandung arti ’kewajiban’, ‘tugas hidup’, dan ‘kebajikan’.
10. darmabakti, darma bakti, dan dharma bhakti
Kebakuan
dan ketidakbakuan pasangan kata itu terletak pada ejaannya. Karena merupakan
sebuah kata, bentuk darma harus digabungkan dengan bentuk bakti.
Oleh krena itu, kata yang baku ialah darmabakti. Sedikitnya ada dua
alasan yang menyebabkan bentuk dharma bhakti bukan merupakan bentuk
baku, yaitu (1) ejaannya belum benar dan (2) bentuk dharma dipisahkan
dengan bentuk bhakti. Kata darmabakti mengandung arti ‘perbuatan
untuk berbakti (kepada negara, agama)’.
Dengan
beranalogi pada hal di atas, dapat
diketahui bahwa darmasiswa, darmawisata, merupakan kata baku, sedangkan darma
siswa, darma wisata ialah kata tidak baku. Kata darmasiswa
mengandung arti ‘uang yang disediakan untuk mebiayai pelajar atau mahasiswa’.
Kata darmawisata mengandung arti ‘perjalanan singkat dengan tujuan
bersenang-senang’.
11. daya guna dan dayaguna
Bentuk
daya guna merupakan kata gabung. Oleh karena itu, penulisan bentuk daya
harus dipisahkan dengan bentuk guna. Kata itu setipe dengan kata-kata hasil
guna, tanda tangan, tepuk tangan, tumpang tindih, dan tanggung
jawab (dalam arti sebagai gabungan yang unsur-unsurnya harus dipisahkan
penulisannya). Dengan demikian, kata yang baku ialah daya guna. Jika dua
bentuk itu mendapatkan awalan dan akhiran, maka penulisannya digabungkan.
Misalnya mendayagunakan, didayagunakan. Kata dayaguna
(digabungkan) merupakan kata yang tidak baku. Kata daya guna mengandung
arti ‘kemampuan yang mendatangkan hasil dan manfaat’, ‘efisien’, dan ‘tepat
guna’.
12. deskriptip dan deskriptif
Anda
mungkin bertanya? Manakah bentuk yang betul atau bentuk yang baku di antara
kedua bentuk di atas. Bentuk dengan akhir /p/ atau /f/? Mari kita teliti bunyi
ketentuan yang terdapat dalam buku
Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan.
ive,
ief menjadi if
descriptive,
descriptief à deskriptif
demonstrative, demonstratief à demonstratif
maksudnya, kata dari bahasa Inggris yang berakhir
–ive, yang semakna dan mirip bentuknya dengan kata bahasa Belanda yang
berakhir dengan –ief, dalam bahasa Indonesia menjadi kata dengan akhir –if.
Jadi, v dan f yang dilafalkan dengan /f/. Itu ditulis dalam bahasa Indonesia
dengan huruf f. Jangan dijadikan atau diganti dengan p. Bentuk-bentuk aktip,
positip, demonstratip, produktip, eksekutip, legislatip bukanlah
bentuk-bentuk yang baku. Semua kata yang sudah disebutkan itu haruslah berakhir
dengan –if, bukan –ip. Jadi, yang baku ialah aktif, positif,
demonstratif, produktif, eksekutif, legislatif.
13. dukacita dan duka cita
Kata
dukacita merupakan sebuah kata. Oleh karena merupakan sebuah kata,
penulisan bentuk duka harus digabungkan dengan bentuk cita.
Dengan demikian, kata yang baku ialah dukacita. Bentuk duka yang
dipisahkan penulisannya dengan bentuk cita merupakan bentuk yang tidak
baku. Kata dukacita mengandung arti ‘kesedihan’ atau ‘kesusahan’
14. efektif dan efektip
Kata
efektif merupakan serapan dari kata bahasa Belanda effectief atau
dari kata bahasa Inggris effective. Di samping perubahan yang lain, yang
perlu diperhatikan ialah bahwa bunyi -ief atau -ive pada kata
asing itu menjadi –if setelah kata itu diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, kata yang baku ialah efektif, sedangkan kata efektip merupakan kata yang tidak
baku. Kata efektif mengandung arti ‘ada efeknya’, manjur tau mujarab,
dan ‘berhasil guna’.
15. eksklusif dan exclusif
Kata
eksklusif merupakan serapan dari kata kata bahasa Inggris exclusive.
Penyerapan dengan cara mengganti huruf konsonan x dengan gabungan huruf ks,
huruf konsona c dengan huruf konsonan k, dan mengganti bunyi ive
dengan bunyi if. Karena ejaannya sudah benar, bentuk eksklusif
merupakan kata baku, sedangkan exclusif merupakan kata yang tidak baku
karena ejaannya masih salah. Kata eksklisif berarti ‘terpisah dari yang
lain’ atau ‘tidak termasuk’.
16. ekspor dan eksport
Kata
ekspor merupakan serapan dari kata bahasa Inggris export.
Penyerapannya dengan cara mengganti huruf konsonan x dengan gabunagn
huruf konsonan ks dan menghilangkan konsonan t pada akhir kata
itu. Benrtuk ekspor merupakan kata baku karena ejaannya sudah benar.
Oleh karena pada kata eksport masih
mengandung huruf konsonan t, maka kata eksport tidak baku. Kata ekspor
berarti ‘pengiriman barang ke luar negeri’.
17. eksporter dan eksportir
Kata
eksporter merupakan serapan dari kata exporter (Inggris).
Penyerapannya dengan cara mengganti huruf konsonan x dengan gabungan
huruf ks. Oleh karena itu, bentuk ekporter merupakan kata baku.
Kata eksportir merupakan serapan dari kata exporteur (Belanda).
Kita ketahui bahwa kata yang dikembangkan pemakaiannya ialah kata yang diserap
dari bahasa Inggris, yaitu exporter. Dengan demikian, kata yang baku
ialah eksporter, sedangkan kata eksportir
merupakan kata yang tidak baku. Kata eksporter mengandung arti
‘pengekspor’.
18. ekstrem dan ekstrim
Kata
ekstrem merupakan serapan dari kata extreem (Belanda) atau
serapan dari kata extreme (inggris). Di samping perubahan yang lain
(misalnya huruf konsonan x berubah menjadi bagungan huruf konsonan ks),
yang perlu diperhatikan bahwa deret huruf vokan ee atau vokal e
yang mengikuti huruf konsonan r tetap menjadi e (bukan i)
setelah kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata yang
baku ialah ekstrem, sedangkan ekstrim merupakan kata yang tidak
baku. Kata ekstrem mengandung arti ‘fanatik’, atau ‘sangat keras dan
teguh’.
19. hipotesa dan hipotesis
Secara historis, kata-kata itu
dahulu diserap dari bahasa Belanda: hypothese. Karena dalam bahasa
Indonesia tidak terdapat kata yang berakhir dengan bunyi /e/, maka /e/ pada akhir kata itu diganti dengan
bunyi /a/, lalu kedua patah kata itu dijadikan hipotesa.
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, sebuah lembaga di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan
Depetemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang “mengurus” bahasa dan pekerjaannya
antara lain membentuk istilah, menetapkan : 1) sebaiknya dalam membentuk
istilah yang mengambil dari bahasa asing, kita mendahulukan bahasa Inggris karena
bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama dalam pendidikan di Indonesia; 2)
sebaiknya dalam mengindonesiakan kata asing (bila tidak ditemukan padanannya
yang tepat dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah) diusahakan agar ejaannya
dekat dengan ejaan bahasa asalnya, artinya, yang diganti hanyalah yang perlu
saja. Demikian juga halnya dengan kata hypothesis.
Kata itu lalu diindonesiakan menjadi hipotesis.
Alasan mengacu kepada bahasa
Inggris ini didasarkan kepada pendirian bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang
sifatnya internasional dan dekat kepada generasi seakarang maupun generasi yang
akan datang. Bahasa Belanda tidak lagi dikenal oleh generasi muda dan agar
pembentukan kata-kata Indonesia nanti tidak menjadi bersifat mendua, lebih baik
kita mengacu kepada satu bahasa saja, yaitu bahasa Inggris. Pendirian ini
memang tidak selalu bertaat asas secara ketat sebab dalam kenyataannya banyak
kata yang berasal dari bahasa Belanda tidak diubah lagi karena kata-kata itu
sudah melembaga dalam bahasa Indonesia. Hanya sebagian kecil saja yang diubah.
Mengubah sesuatu yang sudah
melembaga dan sudah sangat biasa digunakan oleh pemakai bahasa memang tidak
mudah. Buktinya dapat kita lihat pada kedua patah kata yang sudah kita
bicarakan itu. Bentuk hipotesis dan analisis sudah tinggi
kekerapan pemakaiannya di kalangan perguruan tinggi, tetapi di luar itu masih
lebih banyak digunakan bentuk hipotesa dan analisa. Jika bentuk analisis
yang kita gunakan sebagai bentuk dasarnya, maka kata bentukannya dengan imbuhan
bahasa Indonesia (awalan, akhiran) harus pula sejalan dengan bentuk dasar itu.
Jadi, menganalisis, dianalisis, penganalisisan, bukan menganalisa,
dianalisa, penganalisaan. Penggunaan bentuk baru yang sudah ditetapkan ini
tentu perlu dipatuhi dan melalui pembiasaan, lama kelamaan kita akan terbiasa
menggunakan bentuk yang baru itu.
20. izin dan ijin
Di dalam penggunaan bahasa Indonesia
sehari-hari kita sering menemukan tulisan kata tertrtentu secara berbeda.
Ambillah contoh kata izin I dan ijin. Kita tentu bertanya tulisan man
yang baku di atara keduanya itu. Untuk menjawab pertanyaanitu, kita harus
kembali pada aturan pengindonesiaan kata asing.
Di dalam Buku Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dinyatakan bahwa ejaan kata yang erasal
dari bahasa asing hanya diubah seperlunya agar ejaannya dalam bahasa Indonesia
masih dapat dibandingkan dengan ejaan bahasa asalnya. Kata itu di dalam bahasa
asalnya, yaitu Arab dituliss dengan huruf <zal> yang diindonesiakan menjadi <z> .
Dengan demikian, penulisan yang benar adalah izin bukan ijin.
21. jadual dan jadwal
Ada
orang beranggapan bahwa yang baku adalah kata jadual karena mereka
beranalogi pada kualitas atau pada
kuitansi. Jalan pikiran seperti itu sepintas lalu benar, tetapi sayang
sekali analogi itu tidak tepat. Kata kualitas dan kuitansi
berasal dari bahasa Inggris yang memang menggunakan u bukan w,
yakni quality dan quitance, sedangkan jadwal tidak dapat
disejajarkan dengan kedua kata itu karena tidak seasal. Jadwal berasal
dari bahasa Arab. Perhatikan pemakaian yang salah berikut ini.
Bentuk salah
- Sesuai dengan jadual, perkuliahan semester ganjil akan dimulai tanggal 10 Oktober 1998.
- Bersama ini kami kirimkan jadual kuliah semester ganjil tahun akademik 1998/1999.
Bentuk Baku
- Sesuai dengan jadwal, perkuliahan semester ganjil akan dimulai tanggal 10 Oktober 1998.
- Bersama ini kami kirimkan jadwal kuliah semester ganjil tahun akademik 1998/1999.
22. komoditas dan komoditi
Kata
komoditas merupakan serapan dari bahasa Inggris comodity.
Penyerapannya dengan mengganti huruf konsonan c dengan huruf konsonan k,
menyederhanakan gugus konsonan mm memjadi m, mengubah bunyi –ty
menjadi tas, sehingga terbentuklah kata komoditas. Kata itu dapat
mengingatkan kita pada beberapa kata yang setipe, misalnya universitas
merupakan serapan dari kata university, kapasitas merupakan
serapan dari kata kapacity, dan loyalitas merupakan serapan dari
kata loyality. Oleh karena itu, kata yang baku ialah komoditas, sedangkan
kata yang tidak baku ialah komoditi. Kata komoditas berarti
‘barang dagangan utama’, ‘benda niaga’.
23. kompleks dan komplek
Kata
kompleks merupakan serapan dari kata bahasa Belanda complex atau
dari bahasa Inggris complex. Penyerapannya dengan cara mengganti
konsonan c dengan k dan konsonan x dengan gabungan huruf
konsonan ks, sehingga terbentuklah kompleks. Oleh karena itu,
kata yang baku ialah kompleks. Kata kompleks berarti ‘ mengandung
beberapa unsur yang pelik, rumit, sulit, dan saling berhubungan’.
24. konkret, kongkret, konkrit, dan kongkrit
Kata
konkret merupakan serapan dari bahasa Inggris concrete. Di
samping perubahan konsonan c menjadi k, yang perlu diperhatikan
juga adalah huruf konsonan n pada
kata asing itu tetap n atau tidak menjadi ng setelah kata itu
diserap ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata yang baku ialah konkret.
Kata koncret berati ‘nyata’, ‘benar’, dan ‘benar ada’.
25. kontroversial dan kontraversial
Kata
kontroversial merupakan serapan dari kata bahasa Inggris contovercial.
Penyeranannya dengan mengganti huruf konsonan c dengan huruf huruf
konsonan k, sehingga terbentuklah kata kontroversial. Dengan
demikian, kata yang baku ialah kontroversial. Kata kontraversial
merupakan kata yang tidak baku. Kata kontroversial berarti ‘bersifat
menimbulkan pertentangan’.
26. kualitas dan kwalitas
Kata
kualitas merupakan serapan dari kata bahasa Inggris quality.
Penyerapan dengan cara mungubah qua menjadi kua dan –ty
menjadi tas, sehingga terbentuklah kualitas. Oleh karena itu,
bentuk yang baku ialah kualitas. Bentuk kwalitas ialah bentuk
yang tidak baku. Kata kualitas berarti ’tingkat baik buruknya sesuatu’.
27. linguis dan lingguis
Kata
linguis merupakan serapan dari kata bahasa Belanda linguist atau
dari bahasa Inggris linguist. Di samping penghilangan huruf konsonan t
pada akhir kata itu, yang perlu diperhatikan ialah bahwa gusus huruf konsonan ngg
tidak terkandung pada kata asing itu. Oleh karena itu, kata yang baku ialah
linguis, sedangkan kata lingguis tidak baku. Kata linguis
berarti ‘ahli ilmu bahasa’.
28. linguistik dan lingguistik
Kata
linguistik merupakan serapan dari kata bahasa Belanda linguistie
atau dari kata bahasa Inggris linguistic. Oleh karena itu, kata yang
baku ialah linguistik, sedangkan lingguistik merupakan kata yang
tidak baku. Kata linguistik berarti ‘ilmu tentang bahasa’ atau telaah
bahasa secara ilmiah’.
29. lokakarya dan loka karya
Kata
lokakarya merupakan sebuah kata. Oleh karena itu, penulisan bentuk loka
harus digabungkan dengan karya. Dengan demikian, kata yang baku ialah lokakarya.
Karena penulisan bentuk loka dipisahkan dengan bentuk karya, kata
loka karya tidak baku. Kata lokakarya berarti ‘pertemuan
antarpara ahli untuk membahas suatu masalah dalam bidang keahliannya’, ‘sanggar
kerja’.
30. mancanegara dan manca negara
Bentuk
mancanegara merupakan sebuah kata. Oleh sebab itu, bentuk manca
harus digabungkan dengan bentuk negara. Dengan demikian, kata yang baku
ialah mencanegara. Bentuk manca negara merupakan bentuk yang
tidak baku karena ejaannya salah. Kata mencanegara berarti ‘negara
asing’
31. multibahasa dan multi bahasa
Satuan
multi merupakan bentuk terikat. Oleh kerena bentuk multi
merupakan bentuk terikat, maka penulisannya harus digabungkan dengan bentuk
yang mengikutinya, yaitu bahasa. Dengan demikian multibahasa merupakan bentuk
yang baku. Bentuk multi bahasa merupakan bentuk yang tidak baku karena
penulisannya salah. Kata multibahasa berarti ‘mengandung lebih dari satu
bahasa’ atau ‘mampu menggunakan lebih dari satu bahasa’.
32. pascasarjana, pasca sarjana dan
paskasarjana
Bentuk
pasca- merupakan awalan yang artinya ialah ‘sesudah’. Ucapannya ialah /pasca/, bukan
/paska/ karena diserap dari bahasa Sanskerta. Oleh karena itu kata yang baku
ialah pascasarjana. Pascasarjan berarti ‘pengetahuan sesudah sarjana’.
33. penatar dan petatar
Penatar ialah ‘orang yang menatar’; kata tatar – menatar
diserap dari bahasa daerah. Kata bahasa Inggrisnya up grading yang dipadankan dengan penataran, yaitu
kata kerjanya menatar. Petatar artinya ‘orang yang ditatar’.
Bentuk ini beranalogi kepada bentuk yang sudah ada.
Dalam bahasa Indonesia dikenal bentuk penyuruh
dan pesuruh. Penyuruh ialah ‘orang yang menyuruh’, sedangkan pesuruh
ialah ‘orang yang disuruh’.Berdasarkan bentuk itulah dibentuk kata penatar
dan petatar yang berarti ‘orang yang menatar’dan ‘orang yang ditatar’.
Dewasa ini dijumpai pula bentuk–bentuk yang beranalogi kepada bentuk-bentuk
itu, yaitu penyuluh dan pesuluh. Penyuluh ialah ‘orang
yang menyuluhi, sedangkan pesuluh ialah
‘orang yang disuluhi’.
34. perajin dan pengrajin
Kata
dasar berfonem awal /r/ jika diberi awalan pe-, bentuk awalan itu tetap pe-,
seperti pada kata perawat, peramal. Bila kata dasar berupa kata sifat
diberi awalan pe- maka awalan pe- mengandung makna ‘orang yang
sifatnya seperti yang disebutkan kata dasar itu’.; Misalnya, pemalas
‘orang yang sifatnya malas, pemarah ‘orang yang sifatnya suka marah’.
Beranalogi kepada bentukan itu maka perajin ialah ‘orang yang sifatnya
rajin, (walaupun kata ini jarang dipakai dalam tuturan).
Kata pengrajin tidak berarti ‘orang yang
sifatnya rajin’, tetapi ‘orang yang mengerjakan pekerjaan industri rumah
seperti membuat keranjang, membuat tikar, membuat sepatu, dan sebagainya.
35. pimpinan dan pemimpin
Sekarang
ini kata pemimpin dan pimpinan digunakan seolah-olah dengan fungsi yang sama .
Misalnya dalam frase pimpinan proyek dan pemimpin proyek. Singkatan yang biasa
digunakan di departemen dewasa ini ialah pimpro (pimpinan proyek). Yang
ditanyakan sebagian orang ialah “Benarkah makna pimpinan proyek sama dengan
pemimpin proyek?”
Mari
kita bahas makna kedua bentukan itu dengan menentukan arti imbuhan awalan pem-
dengan akhiran –an pada bentuk dasar pimpin. Kita tahu bahwa awalan pe-, pem,
pen-, peng-, atau peny- seperti pada kata perawat, pembeli, penjual, penggali
ialah 1) ‘orang yang meng-‘; dan 2) ‘alat untuk meng-‘. Jadi, perawat ‘orang
yang merawat’, pembeli ‘orang yang membeli’, penggali ‘orang yang menggali’
atau alat untuk menggali. Berdasarkan analogi bentukan itu, kita dapat
mengatakan bahwa pemimpin artinya ‘orang yang memimpin.
Akhiran
–an pada bentuk dasar kata kerja seperti kata tulisan mempunyai arti ‘hasil
menulis’ atau ‘yang ditulis’, karangan
‘hasil mengarang’, atau ‘yang dikarang’.
Agar
bahasa Indonesia yang kita gunakan dapat memberikan makna yang lebih tepat,
sebaiknya kita membedakan kedua bentuk itu. Jadi, pemimpin ialah’ orang yang
memimpin’, sedangkan pimpinan ialah ‘hasil kerja memimpin’. Dalam kalimat:
- Sudah dua tahun beliau memimpin partai itu.
- Pemimpin yang jujur sangat dibutuhkan bagi pembangunan bangsa dan negara.
- Karana pimpinannya yang baik, perusahaan itu maju.
Pimpinan proyek yang teratur dimungkinkan berkat
rencana yang matang.
36. pirsawan dan pemirsa
Sekarang
ini kita dengar dua bentuk yang digunakan orang. Mana di antara kedua bentuk
itu yang betul?
Kita
menyerap akhiran darai bahasa sanskerta –wan dan –man. Mulanya
dipakai pada ata-kata seperti hartawan , bangsawan, yang mengandung arti
‘yang memiliki’. Jadi, hartawan
berarti ‘yang memiliki harta’.
Dalam
bahasa Indonesia, makna akhiran itu meluas. Dapat berarti ‘orang yang ahli
tentang’ misalnya ilmuwan sastrawan; dapat berarti ‘orang yang
pekerjaannya atau orang yang sering melakukan pekerjaan itu, misalnya
wartawan. Umumnya bentuk dasar kata-kata yang berakhiran –wan itu ialah
kata benda. Tetapi ada juga beberapa kata sifat seperti setiawan’ yang
memiliki sifat setia, sukarelawan ‘yang memiliki sifat sukarela.
Kita
kembali pada pertanyaan di atas. Bentuk dasarnya adalah pirsa yang
dipungut dari bahasa Jawa dan kata itu adalah kata kerja. Bentuk aktifnya dalam
bahasa Jawa mirsa (baca: mirso). Jika kata itu kita bentuk menurut
aturan bahasa Indonesia, maka kata kerja bentuk aktifnya ialah memirsa
yang artinya’ melihat serta memperhatikan’. Jadi, orang yang memirsa itu
mengikuti dengan aktif dengan jiwanya apa yang dilihatnya, lebih besar
perhatiannya daripada orang yang menonton.
Kalau
kata kerjanya memirasa seperti keterangan di atas, maka orang yang
memirsa ialah pemirsa, bukan pirsawan. Berdasarkan makna akhiran -
wan seperti yang dijelaskan di atas tadi, maka pirsawan dapat berarti ‘orang yang ahli pirsa)
atau ‘yang memiliki pirsa’ (tidak mungkin). Dengan alasan itu, maka
bentuk pirsawan yang sering
digunakan orang itu bentuk yang kurang tepat.
37. proklamsi dan proklamir
Kata
diproklamasikan merupakan bentukan dari kata dasar proklamasi dan
imbuhan di-kan. Kata prokalmasi merupakan serapan dari bahasa
Belanda proclamtie atau dari bahasa Inggris proclamation. Kata diprokalmirkan
merupakan bentukan dari kata dasar proklamir dan imbuhan di-kan. Kata proklamir
merupakan serapan dari kata bahasa Belanda poclameren yang berarti
‘mengumumkan’. Oleh karena proklamir sudah berkategori verba (kata
kerja), maka pembubuhan imbuhan di–kan pada kata itu tidak tepat karena
artinya ‘dimengumumkan’ Bentuk ini merupakan merupakan bentuk yang tidak logis. Atas dasar itu, dapat diketahui
bahwa kata yang baku ialah diprokalmasikan dan diprokalmirkan
merupakan kata yang tidak baku. Kata diproklamsikan berarti ‘diumumkan’.
38. prosen dan persen
Kata
persen berasal dari bahasa Inggris percent. Seperti unsur serapan
yang lain, kata percent atau percentage ini hanya diubah
seperlunya agar bentuk serapannya masih bisa dibandingkan dengan bentuk aslinya.
Serapan yanmg dimaksud adalah persen atau persentase. Jadi, yang
diubah hanyalah /c/ menjadi /s/ dan huruf /t/ di akhir kata dibuang, dan age
diubah menjadi ase.
39. rohaniwan dan rohaniawan
Kata
rohani dan rohaniah semuanya diserap dari bahasa Arab. Rohani
ialah kata benda lawan jasmani dan rohaniah berarti ‘yang bersifat rohani’.
Demikian juga dapat dibandingkan dengann ilmu dan ilmiah. Ilmu
bersinonim dengan kata pengetahuan, sedangkan ilmiah berarti ‘yang
bersifat ilmu’. Rohaniwan berarti ‘orang yang ahli tentang (ilmu)
rohani, atau ilmu agama’. Itu sebabnya pendeta, pastur, nabi dan penghulu
disebut rohaniwan.
Kalau
bentuk rohaniawan itu diterima, itu berarti bahwa bentuk itu diambil
dari rohaniah yang ditambah dengan akhiran –wan. Dari segi makna,
bentuk itu tak dapat dipertangungjawabkan sebab rohaniah dalam bahasa
Arab (diserap juga dalam bahasa Indonesia) yang berarti ‘yang bersifat rohani’.
Oleh karena kata itu berarti seperti itu, maka tak dapat kita tambahkan akhiran
–wan di belakangnya sebab arti kata bentukan itu tidak tepat; rohaniawan
berarti ‘orang yang memiliki bersifat rohani’. Apa maksudnya itu? Berdasarkan
alasan inilah, maka bentukan rohaniawan bukanlan bentuk yang dapat
dipertanggungjawabkan.
40 relawan dan sukarelawan
Dalam pemakaian bahasa Indonesia
sering kita temukan penggunaan kata relawan dan sukarelawan. Penggunaan kedua kata itu menyebabkan sebagian
pemakai bahasa mempertanyakan bentuk manakah yang benar dari kedua kata itu?
Dalam
hal ini, kita perlu memahami bahwa imbuhan –wan itu berasal dari bahasa
Sankerta. Imbuhan itu digunakan bersama kata benda (nomina) seperti pada kata
bangsa
+ -wan ----- bangsaawan
harta
+ -wan ----- hartawan
rupa
+ -wan
----- rupawan
Imbuhan itu menyatakan tentang ‘orang yang
memiliki seperti yang disebukan pada kata dasar’. Jadi, bangsawan berrati
‘orang yang memiliki bangsa’ atau ‘keturunan raja dan atau kerabatnya’; hartawan
‘oarng yang memiliki harta; rupawan ‘orang yang memiliki rupa yang
elok’ atau ‘orang yang elok rupa’.
Dalam
perkembangannya, arti imbuhan meluas. Pada kata ilmuwan, negarawan,
sastrawan, misalnya, imbuhan –wan menyatakan ‘orang yang ahli dalam bidang
yang disebutkan pada kata dasarnya. Dengan demikian, ilmuwan berarti
‘orang yang ahli dalam bidang ilmu tertentu; negarawan ‘orang yang ahli
dalam bidang kenegaraan; sastrawan ‘orang yang ahli dalam bidang
sastra’.
Pada
kata seperti olahragawan, usahawan, imbuhan –wan berarti orang yang
berprofesi dalam bidang yang disebutkan pada kata dasar’. Jadi, olahragawan
berarti’ orang yang memiliki profesi dalam bidang olah raga, usahawan
‘orang yang berprofesi dalam bidang usaha (tertentu)’.
Pada
contoh itu terlihat bahwa imbuhan –wan pada umumnya dilekatkan pada kata benda (nomina),
seperti bangsa, harta, ilmu, olah raga, dan usaha. Imbuhan-wan
tidak pernah dilekatkan pada kata kerja (verba).
Berdasarkan kenyataan itu, penggunaan imbuhan –wan
pada kata relawan dipandang tidak tepat. Hal ini sama kasusnya dengan
penambahan –wan pada kata kerja pirsa yang menjadi pirsawan.
Dalam hal ini pilihan bentuk kata yang benar adalah pemirsa, yaitu orang
yang melihat dan memperhatikan atau menonton siaran televisi.
Kata
sukarelawan mengandung pengertian orang yang dengan sukacita melakukan
sesuatu tanpa rasa terpaksa. Kata sukarela ini berasal dari kata dasar
sukarela dan imbuhan –wan.
Dalam kamus Besar bahasa Indonesia (1996;070) pun,
bentukan kata yang ada adalah sukarelawan, sedangkan kata relawan
tidak ada. Oleh karena itu, kata yang sebaiknya kita gunakan adalah sukarelawan,
bukan relawan.
41. semena-mena dan tidak semena-mena
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta dicantumkan sebagai berikut.
mena, tidak semena-mena: tidak dengan
kira-kira, semau-maunya, sewenang-wenang, tidak beralasan yang patut.
Melihat
yang tercetak di dalam kamus itu, Anda tahu bahwa ungkapan yang benar bukan semena-mena,
melainkan tidak semena-mena. Kata tidak di depan kata semena-mena
sama sekali tidak boleh dihilangkan, seperti pemakaiannya dalam kalimat kutipan
dari surat kabar: Semua tamu sama di mata kami, kata karyawati yang telah
berpengalaman tadi. “ Ada yang baik dan sopan, ada pula yang seme-mena
dan kurang ajar, baik tamu domestik maupun tamu asing”. Ungkapan yang sama
artinya dengan sewenang-wenang ialah tidak semena-mena bukan semena-mena.
Berbuat sewenang-wenang terhadap seseorang sama artinya dengan’berbuat tidak
semena-mena terhadap seseorang’. Kata tidak dalam ungkapan itu
berfungsi menentukan arti ungkapan itu. Oleh karena itu kata tidak
jangan dihilangkan. Tentu saja tidak pandai tidak sama dengan pandai
saja tanpa tidak; tidak berwibawa tidak sama artinya dengan berwibawa.
Yang pertama bersifat ingkar, sedangkan yang ke dua justru sebaliknya.
Sengaja
ungkapan tidak semena-mena ini dibicarakan di sini karena pemakaiannya
kacau. Kadang-kadang orang mengatakan atau menulis tidak semena-mena,
tetapi kadang-kadang juga hanya semena-mena. Ungkapan yang benar ialah
yang menggunakan kata tidak dengan arti yang sama dengan
sewenang-wenang, yaitu tidak semena-mena.
42. sistim dan sistem
Kata systeem (Belanda) dan system
(Inggris). Dahulu, kata Indonesianya sistim karena kita mengindonesiakan
kata bahasa Belanda systeem.
Bunyi teem dekat dengan bunyi tim. Itu sebabnya kata itu
dijadikan sistim. Pada saat ini ditetapkan bahwa yang digunakan sebagai
acuan adalah bahasa bahasa Inggris. Oleh
karena itu, kata system-lah yang diambil dan diindonesiakan menjadi sistem.
43. standard dan standar
Kata–kata di atas berasal dari bahasa
asing bahasa Inggris. Ada dua pendirian yang kita pegang dalam mengindonesiakan
kata asing: 1) bentuk yang dipungut itu disesuaikan dengan bentuk bahasa
Indonesia (sistem fonologi dan morfologinya); 2) sedapat-dapatnya ejaannya
dekat dengan ejaan aslinya (visual). Mari kita teliti kata yang ditanyakan di
atas?
Dalam
bahasa Inggris ada kata standard. Kata itu diserap dan diindonesiakan menjadi standar.
Mungkin Anda bertanya, “Mengapa /d/ pada akhir kata itu dihilangkan?”
jawabnya< “Bunyi itu tidak berfungsi dalam bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, dibuang saja. Contoh seperti itu dapat dilihat pada kata lain seperti impor
dan ekspor yang berasal dari bahasa Inggris import dan export
(sama dengan bahasa Belanda). Bunyi /t/ pada akhir kata dihilangkan karena
tidak berfungsi” . Kalau bunyi akhir yang tidak berfungsi itu diambil, maka
akan timbul kesulitan bila memberi akhiran pada kata itu. Misalnya, kata standard
yang diserap, bila diberi imbuhan pen-an, maka hasilnya ialah penstandardan,
padahal bila bentuk standar yang diambil, maka hasilnya ialah penstandaran.
Bentuk ini lebih sesuai karena sama dengan bentuk lain dalam bahasa Indonesia: penggambaran,
pelemparan. Bentuk menstandarkan lebih mudah diucapkan dibandingkan
dengan menstandardkan karena terdapat tiga konsonan berurutan
/rdk/.
44. standardisasi dan standarisasi
Sekarang
kita beralih pada bentuk standardisasi
dan standarisasi. Mana yang betul atau baku? Kata itu diserap dari
bahasa Inggris standardization. Dalam bahasa Indonesia, bunyi –ion
pada akhir kata Inggris dijadikan –si. Hal ini terjadi karena banyak
kata yang telah diserap dahulu dari bahasa Belanda yang berakhir –tie
(ucapannya /si/ dan sama dengan –tion dalam bahasa Inggris itu). Bahasa
Belanda untuk kata itu standardsatie. Bunyi /z/ dalam bahasa Inggris
yang dalam bahasa Belanda /s/ dijadikan /s/ dalam bahasa Indonesia. Yang lain
tidak diubah karena prinsip yang dipegang ” sedekat mungkin dengan ejaan bahasa
asalnya”. Hasilnya standardisasi.
45.Ubah
pada Merubah dan Mengubah
Kata
mengubah kata dasarnya adalah ubah.
Jadi, bila kata dasarnya ubah, maka bentuk awalan yang muncul
ialah meng-, bukan mer-, sehingga bentukan yang betul ialah mengubah, bukan
merubah..
Hasil
pekerjaan mengubah ialah pengubahan. Kata merubah mungkin
timbul karena orang mengacaukannya dengan bentuk dengan berawalan ber-
yaitu berubah. Bentuk berubah dibentuk dari kata dasar ubah
yang mendapat awalam ber-, bukan kata dasar rubah dengan awalan be-.
Hal, hasil atau cara berubah ialah perubahan.
46. zaman dan jaman
Kata zaman merupakan serapan
dari bahasa Arab. Kata ini ini diserap
secara utuh. Kata zaman berarti ‘jangka waktu yang panjang atau pendek
yang menandai sesuatu’ atau ‘masa’ dan ‘kala’ atau ‘waktu’. Kata jaman
termasuk kata yang tidak baku.
6. KONTAMINASI
Kontaminasi berasal dari bahasa
Inggris contamination yang dapat
diberi arti ‘pencemaran’. Dalam bidang bahasa, kontaminasi dipadankan
dengan kerancuan. Kata kerancuan diturunkan dari kata dasar rancu
yang mendapat simulfiks ke-an; rancu bersinonim dengan kacau.
Jadi, kerancuan berarti kekacauan . Bentuk-bentuk yang rancu atau kacau
dianggap sebagai bentuk yang salah.
Apa
yang rancu atau dirancukan itu? Yang dirancukan orang adalah susunan dua unsur
bahasa, entah unsur itu imbuhan, kata, atau kalimat. Oleh sebab itu,
kontaminasi bahasa dapat dibedakan atas:
1. kontaminasi bentuk kata
2. kontaminasi bentuk frase
3. kontaminasi bentuk kalimat
Dalam
kontaminasi, selalu terjadi paduan dua unsur yang kacau, artinya kedua unsur
itu tidak seharusnya berpasangan. Misalnya, unsur A pasangannya unsur B,
sedangkan unsur C pasangannnya unsur D. Jadi, A – B dan C – D. Apabila yang muncul
bukan pasangan yang seharusnya, misalnya A – D atau C – B, maka gabungan ini
disebut rancu atau kacau. Bentuk gabungan yang rancu atau kacau
itulah yang disebut kontaminasi
dan bentuk kontaminasi di dalam bahasa dianggap sebahgai bentuk yang
salah.
1. Kontaminasi Bentuk Kata
Dalam
sebuah pameran pernah ditulis orang pada
kain rentang sebagai berikut.
DI SEKOLAH KAMI
DIPELAJARKAN BERBAGAI KEPANDAIAN WANITA
Dengan memperhatikan tulisan itu, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana mungkin ada bentuk dipelajarkan?
Dalam
deretan bentuk dengan kata dasar ajar terdapat bentuk-bentuk :
mengajar - mengajarkan
- mengajari
diajar - diajarkan - diajari
belajar - mempelajari - dipelajari
pelajar - pelajaran - terpelajar
terajar -terajarkan - terajari
ajaran - pengajaran
Tidak
terdapat bentuk dipelajarkan. Jika diperhatikan baik-baik, akan terungkap
bahwa bentuk dipelajarkan merupakan bentuk kontaminasi dari dua bentuk asal: dipelajari
dan diajarkan. Kalimat yang rancu di atas kain rentang itu dapat
dikembalikan pada dua bentuk asalnya yang betul.
- Di sekolah kami diajarkan berbagai kepandaian wanita.
- Di sekolah kami dapat dipelajari berbagai kepandaian wanita.
Gejala kontaminasi pada kata bentukan lainnya,
yaitu bentuk mengenyampingkan . Mari kita tinjau bagaimana proses
pembentukannya. Kalau diambil bentuk dasarnya samping, kemudian kata ini
diberi imbuhan di - kan, maka
bentuknya disampingkan. Bila bentuk ini diubah menjadi bentuk me-,
maka hasilnya ialah menyampingkan. Kata dasar yang dimulai dengan /s/
memunculkan bentuk meny- dan fonem /s/ itu sendiri luluh di dalam bunyi
nasal /ny/ itu. Bila bentuk dasar ke samping yang diambil, kemudian
diberi imbuhan di- kan, hasilnya dikesampingkan (ditulis
serangkai karena diapit oleh di- dan –kan sekaligus). Bila bentuk
dikesampingkan diubah menjadi bentuk dengan imbuhan me – kan,
maka hasilnya mengesampingkan, bukan mengenyampingkan karena bentuk dasarnya dimulai dengan /k/.
Bila bentuk dasar berfonem awal /k/ diberi awalan me-, maka muncullah
bentuk meng; sedangkan /k/ luluh
di dalam bunyi nasal /ng/ itu. Fonem /s/ pada bentuk dasar ke samping terletak
di tengah kata. Oleh karena itu, tidak terpengaruh dengan pemberian awalan me-.
Bandingkan dengan contoh-contoh berikut.
kosong - mengosongkan
kotor - mengotorkan
Perhatikan bentuk-bentuk di
atas. Yang mengalami peluluhan hanyalah fonem awal bentuk dasar, yaitu /k/. Fonem yang terletak
di tengah kata /s/, dan /t/ tidak
mengalami peluluhan. Tetapi, bila
fonem-fonem ini terletak di depan bentuk dasar, pastilah fonem itu mengalami
peluluhan. Misalnya.
tangkap -
menangkap ( /t/ ---à/n/ )
potong -
memotong (/p/ ---à/m/ )
susul -
menyusul ( /s/ ---à /ny/ )
Bandingkan
bentukan kata mengesampingkan dengan kata-kata bentukan di bawah ini.
Cara pembentukannya sejalan.
tengah -
ke tengah - mengetengahkan
tepi -
ke tepi - mengetepikan
bumi -
ke bumi - mengebumikan
Imbuhan me – kan
seperti pada kata-kata itu mengandung makna ‘ membawa ke...’; misalnya mengetengahkan
artinya ‘membawa ke tengah’; arti kiasannya ‘mengemukakan, mengutarakan,
menyampaikan’ (pendapat, pikiran, saran, usul).
Bentuk mengenyampingkan
yang rancu dapat dikembalikan pada dua bentuk asalnya yang betul, yaitu
menyampingkan dan mengesampingkan.
2. Kontaminasi Bentuk Frase
Kontaminasi bentuk frase sering juga terjadi
dalam pemakaian bahasa Indonesia seperti bentuk berulang kali. Dilihat
dari segi penggabungan kata, ungkapan itu memperlihatkan bentuk yang rancu.
Bentuk asalnya ialah berulang-ulang dan berkali-kali. Kedua ungkapan tu
dijadikan orang menjadi satu ungkapan baru dengan mengambil berulang dari
ungkapan pertama dan kali dari ungkapan ke dua, sehingga lahirlah
gabungan yang rancu itu. Berulang-ulang
sama artinya dengan berkali-kali.
Di
samping itu, orang sering mengatakan mengajar bahasa Inggris, mengajar ilmu
pengetahuan alam, dsb. Kalau dikatakan Saya mengajar bahasa Inggris,
tentu dapat dikatakan Bahasa Inggris saya ajar. Benarkah itu? Jawabnya, tidak,
karena bahasa Inggris tidak bisa diajar. Yang bisa diajar hanyalah orang,
binatang, ikan (misalnya ikan lumba-lumba). Mata pelajaran, mata kuliah tidak
dapat diajar tetapi diajarkan. Jadi, seharusnya dikatakan Saya
mengajarkan bahasa Inggris di sekolah itu. Kebalikannya ialah Bahasa
Inggris saya ajarkan di sekolah itu.
Perhatikan
penggunaan kata mengajar, mengajari, diajarkan, diajari, dalam
kalimat-kalimat berikut.
Guru
Zain mengajar murid-murid bernyanyi.
Guru
Zain mengajari murid-murid bernyanyi.
Murid-murid
diajar bernyanyi oleh Guru Zain.
Murid-murid
diajari bernyanyi oleh Guru Zain.
Guru
Zain mengajarkan nyanyian kerpada murid-murid.
Nyanyian
diajarkan oleh Guru Zain kepada murid-murid.
Seorang
Ibu Guru memimpin sekelompok anak dalam sebuah acara siaran di TVRI. Ibu Guru
itu berkata kepada anak-anak asuhannya, “Anak-anak, tentu di sekolah engkau
telah diajarkan mendeklamasikan sajak.”
Kacau
benar kalimat Ibu Guru itu. Ini sebuah kontaminasi pula, hasil gabungan dua
buah frase yaitu 1) engkau telah diajar atau diajari; dan 2) kepadamu
telah diajarkan.
Dalam
kalimat lengkap:
- Anak-anak, di sekolah engkau tentu telah diajar (i) cara mendeklamasikan sajak.
- Anak-anak, di sekolah, kepadamu tentu telah diajarkan bagaimana cara mendeklamasikan sajak.
Jika dibalikkan susunan
kata-katanya, kalimat( b) itu tentu menjadi:
- Bagaimana cara mendeklamasikan sajak, tentu telah diajarkan guru kepadamu di sekolah.
Jelas kepada kita yang telah
dirancukan dalam kalimat di atas ialah susunan kata-kata engkau telah diajar
dan kepadamu telah diajarkan.
Dalam salah satu harian ibu
kota ditulis tentang kasus perampokan di Bali sebagai berikut.
Terus terang saja perampokan
itu dilakukan oleh lima orang tak dikenal dengan terlebih dahulu melempari
batu, kemudian menyerbu dua rumah yang berdampingan itu.
Susunan
kata melempari batu dalam kalimat
di atas jelas tidak tepat karena yang dilempari oleh lima orang itu bukan
batu, melainkan rumah. Rumah yang berdampingan itu mula-mula
dilempari mereka dengan batu, kemudian diserbunya. Jadi, yang dirancukan di
dalam kalimat itu ialah melempari rumah dengan batu dan melemparkan
batu ke rumah itu. Dengan demikian, kalimat yang rancu di atas dapat
dikembalikan ke dalam dua kalimat yang betul sebagai berikut.
- Terus terang saja perampokan itu dilakukan oleh lima orang tak dikenal dengan terlebih dahulu melempari rumah dengan batu, kemudian menyerbu dua rumah yang berdampingan itu.
- Terus terang saja perampokan itu dilakukan oleh lima orang tak dikenal dengan terlebih dahulu melemparkan batu ke rumah itu, kemudian menyerbu dua rumah yang berdampingan itu.
3. Kontaminasi Kalimat
Dalam
penggunaan bahasa Indonesia dewasa ini, sangat sering dijumpai kontaminasi
dalam bentuk kalimat. Perhatikan contoh-contoh berikut.
Bantuan
itu diharapkan dapat meringankan para korban bencana alam.
Dalam
kalimat di atas telah terjadi kerancuan pengertian. Sepintas lalu terasa
kalimat di atas itu susunannya betul. Namun, kalau diperhatikan secara teliti
akan diketahui bahwa bantuan itu akan meringankan para korban bukanlah
ungkapan yang tepat. Kalau dikatakan para korban yang diringankan, maka
yang berat itu adalah para korban. Padahal, yang dimaksud untuk diringankan
ialah penderitaan para korban. Penderitaan mereka berat karena itu perlu
diringankan. Bukan mereka sendiri yang mau diringankan . Jadi, telah terjadi
kerancuan antara:
menolong para korban yang
tertimpa bencana, dengan
meringankan beban penderitaan para korban.
Bandingkan
dengan kalimat Untuk meringankan kapal itu, sebagian muatannya dibuang ke
laut. Kapal itu dibuat menjadi ringan dengan membuang sebagian muatannya ke
laut karena ombak besar. Kalau kapal tidak diringankan ada kemungkinan kapal
itu tenggelam.
Kalimat
yang rancu di atas dapat dikembalikan pada kalimat yang betul sebagai berikut.
a) Bantuan itu diharapkan dapat menolong para
korban yang ditimpa bencana alam.
b) Bantuan itu diharapkan dapat meringankan
beban penderitaan para korban yang ditimpa bencana alam.
Kalau kedua kalimat itu
disatukan, maka hasilnya sebagai berikut.
c) Bantuan itu diharapkan dapat menolong
meringankan beban penderitaan para korban yang ditimpa bencana alam.
Contoh
lain:
Di seluruh jalan-jalan yang
dipagari oleh gedung-gedung bertingkat itu bermandikan cahaya lampu-lampu neon.
Orang
yang pernah mempelajari tata bahasa pasti tahu yang disebut dengan pokok
kalimat (subjek) dan sebutan kalimat (predikat). Tiap-tiap kalimat tentu
mempunyai subjek (S) dan predikat (P) sebab tak ada kalimat tanpa kedua unsur
bahasa tersebut. Bila kita bertutur, kita mengetengahkan sesuatu kepada lawan
bicara kita. Yang kita ketengahkan itulah yang disebut dengan subjek kalimat
dan keterangan tentang subjek itu disebut dengan predikat.
Susunan kata-kata anak yang
sakit tidak bisa disebut kalimat karena tidak mengandung unsur subjek dan
predikat. Susunan kata-kata anak itu
sakit sudah merupakan kalimat karena
Anak itu sebagai subjek kalimat
(sesuatu yang diterangkan/ diketengahkan) dan sakit sebagai predikat
(keterangan tentang subjek anak itu).
Bila
penutur hanya mengucapkan anak itu, kemudian ia berhenti berbicara,
tentu pendengar akan bertanya, “ Mengapa anak itu?” atau “Diapakan anak itu?”
atau “Bagaimana anak itu?” Jawaban atas
pertanyaan itulah predikat kalimat yang dimaksud. Jika hanya dikatakan sakit,
orang akan bertanya, “Siapa yang sakit?’
atau “Apa yang sakit?” Jawaban atas pertanyaan itulah yang disebut subjek.
Sekarang
mari kta kembali pada kalimat contoh tadi. Jika kita bertanya,”Apakah yang
bermadikan cahaya lampu-lampu neon?” Jawabnya tentu tidak mungkin “di
seluruh jalan-jalan yang dipagari oleh lampu-lampu neon itu” sebab bagian
kalimat yang dimulai dengan kata depan di menunjuk pada keterangan tempat.
Pertanyaan untuk jawaban itu haruslah di mana.
Misalnya:
Di
mana kaubeli buku itu? Jawabnya: di
toko Guna Agung.
Di
mana kendaraan hilir mudik ? jawabnya : di
jalan-jalan di kota itu.
Jawaban
yang tepat untuk pertanyaan “Apakah yang bermadikan cahaya lampu-lampu neon?”
ialah “jalan-jalan yang dipagari oleh gedung-gedung bertingkat itu”.
Jawaban ini merupakan subjek kalimat itu dan bermadikan cahaya
lampu-lampu neon adalah predikatnya.
Kalimat
di atas jelas sebuah kalimat yang rancu.
Kalimat yang betul sebagai berikut.
- Jalan-jalan yang dipagari oleh gedung-gedung bertingkat itu bermandikan cahaya lampu-lampu neon.
- Di seluruh jalan-jalan yang dipagari oleh gedung-gedung bertingkat itu tampak berpancaran cahaya lampu-lampu neon.
Jadi, di sini terlihat bahwa
kalimat yang rancu, selalu dapat dikembalikan pada bentuknya yang betul, yaitu
dua kalimat asalnya.
Mungkin Anda bertanya, “Mengapa timbul kalimat-kalimat yang rancu
sepertii itu?” Jawabnya ialah sebagai berikut.
a) Pemakai bahasa tidak menguasai benar
struktur bahasa Indonesia yang baku, yang baik dan benar.
b) Pemakai bahasa tidak memiliki cita rasa
bahasa yang baik, sehingga tidak dapat merasakan kesalahan bahasa yang
dibuatnya.
c) Dapat juga kesalahan itu terjadi tidak
dengan sengaja karena ketika ia akan menuturkan suatu kalimat tertentu, muncul
dalam pikirannya kalimat yang hampir sama struktur dan maknanya dengan kalimat
yang akan dituturkan itu.
6. PLEONASME
Gejala
bahasa pleonasme kita jumpai dalam pemakaian bahasa sehari-hari dalam berbagai
bentuk. Kata itu berasal dari bahasa Latin pleonasmus yang berarti ’kata yang berlebih-lebihan‘.
Gejala bahasa ini memperlihatkan pemakaian kata yang berlebihan yang sebenarnya
tidak diperlukan. Pleonasme ada beberapa macam, yaitu:
- Dua kata atau lebih yang sama maknanya dipakai sekaligus dalam suatu ungkapan.
- Dalam suatu ungkapan yang terdiri tas dua patah kata, kata kedua sebenarnya tidak diperlukan lagi sebab maknanya sudah terkandung dalam kata yang pertama.
- Bentuk kata yang dipakai mengandung makna yang sama dengan kata lain yang dipakai bersama-sama dalam ungkapan itu.
Supaya jelas, marilah kita
bicarakan satu per satu. Kita mulai dengan bentuk yang pertama.
Dalam
buku cerita terutama dalam satra klasik, sering sebuah cerita atau dongeng
dimulai dengan ungkapan pada zaman dahulu kala. Mungkin, karena sudah terlalu biasa membacanya
atau menggunakannya, tidak terasa lagi kepada kita bahwa ungkapan itu mengandung
pernyataan yang berlebihan.
Perhatikanlah!
Kata zaman yang dipungut dari bahasa Arab sama maknanya
dengan kata kala yang berasal
dari bahasa Sanskerta. Kata-kata itu bersinonim pula dengan masa
(Sanskerta) dan waktu (Arab).
Kalau kita alihkan ungkapan pada zaman dahulu kala dengan memakai dua kata yang sama bentuk dan
maknanya, maka ungkapan itu akan berubah menjadi pada masa dahulu masa atau pada waktu dahulu waktu atau pada kala dahulu kala. Penggunaan seperti itu belebih-lebihan ,
bukan?
Kalimat
dengan menggunakan salah satu ungkapan yang tepat sebagai berikut.
- Pada zaman dahulu, dalam sebuah kerajaan, memerintah seorang ratu yang sangat arif.
- Dahulu kala, dalam sebuah kerajaan, memerintah seorang ratu yang sangat arif.
Ungkapan pada zaman dahulu
= pada waktu dahulu = zaman purba = dahulu kala. Tiga ungkapan yang disebut
mula-mula susunannya menurut Hukum DM, yaitu kata yang diterangkan terletak di
depan kata yang menerangkan, sedangkan ungkapan dahulu kala susunannya MD karena kata kala terletak di
belakang kata yang menerangkannya. Sama dengan ungkapan pada zaman dahulu
kala, ungkapan pada zaman purba kala pun memperlihatkan gejala
pleonasme.
Contoh lain:
Mulai
sejak waktu itu, kelakuannya berubah.
Penggunaan
kata mulai sekaligus dengan kata sejak memperlihatkan pula gejala
bahasa pleonasme karena kata mulai sama
artinya dengan sejak. Cukuplah dikatakan:
Mulai
waktu itu, kelakuannya berubah.
Sejak
waktu itu, kelakuannya berubah.
Adakalanya
orang menggunakan juga ungkapan dari sejak waktu itu. Di sini pun
terlihat gejala bahasa pleonasme karena sejak waktu itu = dari waktu itu.
Ungkapan
yang sering juga kita jumpai adalah sebagai berikut: saling pukul-memuukul atau
saling berpukul-pukuanl. Bentuik pukul-memukul dan berpukul-pukulan sudah mengandung
pengertian bahwa pekerjaan itu dilakukan timbal balik atau secara berbalasan oleh
kedua belah pihak. Walaupun begitu, kata bentukan itu masih juga didahului oleh
kata saling yang artinya juga menyatakan ‘pekerjaan itu dilakukan oleh
dua belah pihak’. Oleh sebab itu, di sini telah terjadi gejala bahasa
pleonasme. Seharusnya dipilih saja satu, pukul-memukul, berpukul-pukulan
,atau saling memmukul Jadi,
janganlah mengatakan saling pukul-memukul atau saling berpukul-pukulan,
melainkan pukul-memukul,
berpukul-pukulan, atau saling memukul. Demikian juga dengan bentuk :
saling saing-menyaingi atau saling bersaing-saingan, melainkan
saling menyaingi. Supaya tidak terjadi pleonasme, kita pilih salah satu
bentuk, yaitu dengan kata dasar + me + kata dasar (+ i )
(saling menyaingi), ber + kata
ulang + an (bersaing-saingan), atau
dengan kata saling + me + kata dasar
(+ i ) (saling menyaingi).
Dengan demikian, bentuk yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut.
tuduh-menuduh lempar-melempari
bertuduh-tuduhan berlempar – lemparan
saling menuduh saling melempar
Yang menarik juga dalam
pemakaian bahasa Indonseia dewasa ini adalah
kata baku/. Kata baku maknanya sama dengan ‘saling’.
Kata baku diambil dari bahasa
Melayu dialek Manado . Kata baku itu diikuti kata kerja yang tidak
berawalan seperti baku hantam, baku pukul, baku tuduh, baku marah, baku
sayang, dsb. Baku hantam sejajar dengan saling menghantam.
Kesalahan yang sering juga
dijumpai dalam koran atau majalah dewasa ini ialah pemakaian kata baku
sekaligus dengan kata saling, seperti saling baku hantam. Di sini
telah terjadi pula gejala pleonasme. Perhatikan: baku sayang artinya ‘saling
menyayangi’ atau ‘saling mengasihi’; baku marah artinya ‘saling
memarahi’ arti kiasannya ‘bermusuhan’.
Dengan demikian, ada dua patah
kata baku dalam bahasa Indonesia dewasa ini. Yang pertama ialah kata baku
yang berasal dari bahasa Melayu dialek
Manado yang berarti ‘saling’ dan yang ke dua ialah kata baku yang
berasal dari bahasa Jawa yang artinya ‘pokok’
atau ‘standar’. Bahasa Indonesia baku ialah ‘bahasa Indonesia standar’,
yaitu bahasa Indonesia seperti yang diajarkan di sekolah – sekolah dan yang
dipakai dalam situasi resmi.
Pemakaian kata agar supaya juga merupakan gejala pleonasme karena agar
sama maknanya dengan supaya. Contoh lain seperti itu ialah oleh
karena atau oleh sebab; salah
satu makna kata oleh ialah ‘karena’. Misalnya, Bajuku basah
oleh hujan, artinya ‘bajuku basah karena ( kena) hujan’.
Kita pindah sekarang ke gejala
bahasa pleonasme jenis ke dua, yaitu penggunaan kata ke dua yang tidak
diperlukan lagi karena makna yang dikandung oleh kata itu sudah terkandung
dalam kata yang pertama. Sering orang mengatakan turun ke bawah, naik ke atas,
mundur ke belakang, maju ke depan, atau tampil ke depan, dsb. Ungkapan seperti
itu sudah dianggap sebagai suatu gaya bahasa saja walaupun sebenarnya kalau
kita pikirkan, penggunaan kata ke dua itu tidak diperlukan lagi. Sudah jelas
bahwa orang turun selalu ke bawah, orang naik selalu ke atas, orang mundur selalu
ke belakang, dan orang maju selalu ke depan. Oleh karena itu, kata ke bawah,
ke atas, ke belakang, ke depan, sebenarnya tidak usah dipergunakan lagi.
Namun, sebagai saya katakan tadi, ungkapan seperti itu sering kita denganr
diucapkan orang,
Kita sering juga mendengar
orang mengatakan atau menulis menegadah ke atas, menundukkan kepala, melihat
dengan mata kepala sendiri. Bukankah menengadah itu selalu ke atas, yang
ditundukkan itu selalu kepala; dan orang melihat tentu dengan menggunakan mata, mata yang melekat di
kepala, dengan mata sendiri dan bukan melihat dengan meminjam mata orang lain?
Dalam kalimat:
Bagaimana mungkin aku
berbohong, peristiwa itu aku lihat dengan mata kepalaku sendiri.
Sebenarnya
cukup bila dikatakan peristiwa itu aku lihat sendiri, bukan aku dengar
dari cerita orang lain’. Tetapi, untuk menegaskan pernyataannya itu
ditambahkannya kata-kata dengan mata kepalaku sendiri.
Anda
tentu sering juga mendengar orang mengatakan, penyakitnya kambuh kembali,
atau kesehatanya telah pulih kembali.
Dalam
kata kambuh dan pulih sudah terkandung pengertian ‘kembali’
atau ‘sekali lagi’, atau ‘seperti sedia kala’. Jika dikatakan
penyakitnya kambuh, artinya ‘penyakitnya berulang lagi’. Mulanya
dia sehat, kemudian jatuh sakit, sembuh, kemudian sakit lagi atau sakit
kembali. Jadi, ungkapan kambuh kembali mengandung pengertian yang
berlebihan.
Begitu
juga dengan kata pulih. Kesehatannya pulih artinya ‘kesehatannya
kembali seperti sediakala sebelum dia sakit’. Orang itu sehat, kemudian jatuh
sakit, kemudian sembuh dan kesehatannya kembali seperti sediakala. Itu arti
kata pulih. Jadi, ungkapan pulih kembali mengandung makna yang
berlebih-lebihan.
Di samping itu Anda tentu
sering juga mendengar orang mengatakan namun demikian. Bentuk namun
demikian merupakan bentuk yang pleonastis. Mungkin orang itu mengira, kata
namun bersinonim dengan walaupun. Padahal yang benar tidak sperti itu. Kata namun
bersinonim dengan tetapi, sedangkan walaupun bersinonim dengan meskipun.
Jika orang menganggap bentuk yang benar adalah namun demikian, itu
berarti ia juga harus berani menggunakan tetapi demikian. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata namun sudah mengandung arti “walaupun
demikian’ atau meskipun demikian. Jadi, kata namun sama dengan walaupun
demikian atau meskipun demikian .
Pleonasme jenis ke tiga
dinyatakan oleh bentuk kata yang mengandung makna gramatikal seperti kata yang
membentuk ungkapan itu. Misalnya dikatakan:
- Para tamu-tamu berdiri ketika kedua mempelai memasuki ruangan.
- Dalam perjalanan ke luar negeri itu Menteri Luar Negeri mengunjungi beberapa negara-negara sahabat.
Perhatikan bentuk para
tamu-tamu dalam kalimat pertama. Kata para mengacu kepada pengertian
jamak, perulangan kata benda tamu-tamu juga menunjukkan penegertian
jamak. Jadi, pengertian jamak dinyatakan dua kali. Berlebih-lebihan, bukan?
Oleh karena itu, cukup bila dikatakan para tamu, atau dengan bentuk
perulangan tamu-tamu.
Ungkapan beberapa
negara-negara dalam kalimat ke dua tidak sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Indonesia tidak terdapat gejala “concord” (persesuaian) seperti dalam bahasa Inggris
dan Belanda misalnya, bila kata bilangannya satu, kata bendanya pun berbentuk
tunggal; bila kata bilangannya dua atau lebih, maka kata bendanya pun dalam
bentuk jamak. Itu disebut dengan concord atau agreement. Misalnya
one child ‘seorang anak’, tetapi five children ‘lima anak’. Dalam
bahasa Belanda pun demikian : een kind dan vif kindren.
Dalam bahasa Indonesia,
dikatakan seorang anak dan lima orang anak. Tidak perlu dikatakan
lima orang anak-anak. Oleh karena itu, beberapa negara-negara
juga tidak tepat; terlihat adanya gejala pleonasme dan bentukan seperti itu
sebenarnya dipengaruhi oleh gejala “concord” dalam bahasa asing.
Gejala concord seperti
itu tidak terdapat dalam bahasa Indonesia karena memang bahasa Indonesia lain
strukturnya daripada bahasa-bahasa yang sudah disebutkan itu. Oleh sebab itu,
dalam salah satu harian ditulis dipamerkan 200 buah lukisan-lukisan,
pengungkapan itu jelas tidak sesuai
dengan kaidah bahasa Indonesia. Bilangan 200 sudah melukiskan jumlah
banyak. Oleh sebab itu, kata benda yang di belakangnya tidak perlu di ulang.
Dalam bahasa Indonesia, jika
kata di depan kata benda itu sudah menyatakan jamak, maka kata bendanya tidak
perlu dijamakkan dengan mengulangnya. Kita tidak perlu meniru bahasa asing.
Tiap bahasa mempunyai kaidahnya sendiri-sendiri, bahasa yang satu tidak perlu
sama dengan bahasa yang lain.
Bahasa yang hidup memang
menerima pengaruh yang masuk dari bahasa asing. Tetapi, yang masuk selalu harus
diseleksi. Yang perlu, yang dapat menambah kekayaan kosa kata bahasa Indonesia patut diterima dan yang
tidak, karena tidak ada keperluannya, tak perlu diterima. Pemakai bahasa
Indonesia tidak perlu mengatakan, semua pejabat-pejabat, banyak
gedung-gedung karena dalam bahasa Indonesia, kata benda tidak perlu diulang
untuk menyatakan jamak apabila kata yang
di depan kata benda itu sudah menyatakan
jamak seperti semua, segala, banyak, beberapa, bentukan seperti contoh di atas menyalahi kaidah bahasa
Indonesia. Cukup bila dikatakan: semua pejabat, banyak gedung, beberapa
negara, para tamu.
Ada persoalan mengenai
kata-kata yang mengandung makna jamak, yaitu kata-kata pungut atau serapan dari
bahasa asing. Dalam bahasa Indonesia ada ulama, anasir, arwah, yang
diserap dari dari bahasa Arab. Kata ulama merupakan bentuk jamak kata alim;
arwah merupakan bentuk jamak kata roh. Dalam bahasa Indonesia,
telah terjadi pergeseran makna. Kata-kata yang dalam bahasa asalnya mengandung
arti jamak, dalam bahasa Indonesia mengandung arti tunggal. Perhatikan
pemakaiannya dalam kalimat berikut.
- Prof. Dr. Riza Anwar adalah seorang ulama yang disegani di negerinya.
- Gubernur Jawa Barat mengadakan pertemuan dari hati ke hati dengan ulama-ulama seluruh Jawa Barat.
Gejala bahasa pleonasme timbul
karena beberapa kemungkinan:
1. Pembicara
tak sadar bahwa apa yang diucapkannya itu mengandung sifat berlebih-lebihan.
Jadi, dibuatnya tidak dengan sengaja.
2. Dibuat
bukan karena tidak sengaja, melainkan karena tak tahu bahwa kata-kata yang
digunakannya mengungungkapkan pengertian yang berlebih-lebihan.
3. Dibuat
dengan sengaja sebagai salah satu bentuk gaya bahasa untuk memberikan tekanan
pada arti (intensitas).
7. SALAH KAPRAH
Kata
salah kaprah mungkin sering Anda dengar. Kata salah kaprah terdiri atas dua
patah kata yaitu salah dan kaprah (dari bahasa Jawa). Salah kaprah dalam
kebahasaan diartikan ‘salah atau kesalahan yang sudah sangat umum’ sehingga
karena sudah terbiasa dengan yang salah seperti itu, orang tidak lagi merasakan
bahwa itu salah. Bahasa Indonesia pada waktu akhir-akhir ini sangat cepat
berkembang. Bermacam-macam unsur baru muncul, baik kata, istilah, maupun
bentukan baru. Ada yang dimunculkan dengan sengaja karena dibuat, misalnya oleh
ahli bahasa karena keperluannya. Ada juga yang muncul dari pemakai bahasa
sebagai sumbangan spontan masyarakat bagi pemerkayaan bahasa kita.
Bentuk baru juga muncul
sebagai analogi bentuk lama, tetapi sering karena pembentukan itu kurang
disadari oleh pengetahuan yang cukup tentang kaidah bahasa, terjadilah
kesalahan. Kadang-kadang lahir susunan kalimat yang kacau karena pentur atau
penulis yang melahirkan tuturan itu kurang menguasai aturan penyusunan kalimat
yang baik. Kesalahan yang disebutkan itu sering terjadi bukan hanya sekali,
melainkan berulang-ulang, sehingga yang salah itu seolah-olah sudah benar dan
karena itu dipakai terus-menerus. Kesalahan seperti inilah yang disebut salah
kaprah itu. Marilah kita lihat
contoh yang sudah sangat dikenal.
1. Waktu dan tempat kami persilakan.
Dalam sebuah pertemuan pembawa
acara berkata, “Sekarang kita tiba pada acara berikut, yaitu sambutan dari
Bapak X. Waktu dan tempat kami persilakan.” Ketika itu, bapak X itu tetap duduk
di kursinya, tidak juga memperlihatkan sikap akan meninggalkan tempat duduknya.
Pembawa acara mengulang kembali permintaannya, “Bapak X, kami persilakan tampil
”. Barulah Bapak X itu meninggalkan
tempat duduknya, berjalan ke arah podium, berdiri di sana, dan sejenak kemudian
memulai pembicaraannya.
Kata
bapak itu, “ Saya tadi tidak berdiri dan melakukan apa yang diminta oleh
Saudara pembawa acara karena tadi saya dengar bukan saya yang dipersilakan.
Tetapi, yang dipersilakan itu adalah waktu dan tempat. Hadirin tertawa,
Gerrr,,,
Ini
bukan sebuah lelucon, tetapi benar-benar terjadi. Nah, Anda melihat bahwa apa
yang dikatakan oleh pembawa acara itu juga diucapkan oleh sebagian besar orang yang ditugasi menjadi pembawa acara
dalam pertemuan-pertemuan. Mereka tidak lagi berpikir bahwa kalimat itu salah,
tidak logis. Di mana ada waktu dan tempat yang dapat dipersilakan.
2. Bapak
gubernur berkenan meninggalkan pertemuan ini karena tugas yang menanti beliau
di tempat lain.
Contoh lain penggunaan kata yang
tidak tepat dan salah kaprah pula. Dalam sebuah perayaan hari raya tertentu.
Bapak gubernur di wilayah itu diundang untuk memberikan sambutan. Setelah
selesai memberikan kata sambutannya, beliau mohon diri kepada panitia agar
dapat meninggalkan perayaan yang masih berlangsung itu. Gubernur itu meminta
izin kepada panitia untuk meninggalkan perayaan itu. Tetapi, apa yang kita
dengar dari pembawa acara melalui pengeras suara?
“Saudara-saudara
hadirin kami persilakan berdiri karena Bapak gubernur berkenan
meninggalkan pertemuan ini karena tugas yang menanti beliau di tempat lain.”
Penggunaan
kata berkenan dalam kalimat pembawa acara itu benar-benar salah kaprah .
Bekenan artinya ‘setuju, mau, bersedia dengan hati yang tulus tidak
berkeberatan’, dalam hal yang baru saja dibicarakan itu, bapak gubernur yang
bersangkutan tidak dimintai persetujuannya. Beliau sendiri malah yang meminta
izin atau pekenan panitia untuk meninggalkan tempat itu karena tugas lain
menanti beliau di tempat lain. Terlihat ada keinginan pada pembawa acara untuk
memperhalus bahasanya tetapi ia salah dalam memilih kata. Kata berkenan
pada kalimat di atas tidak tepat penggunaannya. Upaya memperhalus bahasa di
sini tidak mengena. Kata akan yang seharusnya dipakai, dan kata ini
tidak mengungkapkan ketidaksopanan.
3. Atas bantuan Bapak, kami menghaturkan
terima kasih.
Contoh lain yang dikemukakan
di sini, yaitu mengenai penghalusan bahasa dengan mengganti kata dengan kata
yang tidak tepat. Biasanya, kalau kita menulis
surat, setelah surat itu selesai, kita menutup surat itu dengan kalimat
penutup misalnya sebagai berikut. “Atas bantuan Bapak, kami mengucapkan terima
kasih” kata mengucapakan itu dianggap oleh sebagian orang kurang halus. Karena
tu, kata itu diganti dengan menghaturkan, sehingga menjadi “Atas bantuan
Bapak, kami menghaturkan terima kasih.” Kata hatur bukan kata
bahasa Indonesia melainkan bahasa daerah. Dalam kamus bahasa Indonesia tidak
terdapat kata hatur, menghaturkan yang seperti itu maknanya. Kata
itu dipinjam dari bahasa daerah, kemudian dipergunakan dalam surat karena orang
itu ingin menyatakan kehomatannya kepada orang yang dikrimi surat.
Dalam
bahasa Indonesia ada kata atur tetapi artinya lain sekali. Oleh karen
itu, gunakanlah kata mengucapkan yang dapat berarti 1) mengatakan;2)
menyampaikan. Jadi, kata-kata itu tidak terbatas pemakaiannya pada bahasa lisan
saja. Bila berbahasa Indonesia perasaan bahasa Indonesialah yang dipakai.
4. Kami mengucapkan terima kasih atas
bantuan dan perhatiannya.
Sering juga kita melihat orang
yang mengakhiri surat dengan kalimat sebagai berikut, “ Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dan perhatiannya”.
Dikatakan perhatiannya. Perhatian
siapa? Kalau yang dimaksud itu ialah orang yang menerima surat, maka bukan –nya
yang seharusnya dipakai, melainkan Bapak, atau Ibu atau Saudara,
atau Anda, dan sebagainya. Jadi, katakanlah.
Kami
mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak.
Kami
ucapka terima kasih atas perhatian Ibu.
Atas
perhatian Saudara, saya ucapkan terima kasih.
Orang
yang disurati ialah Bapak, Ibu, Saudara atau Anda (orang ke dua)
bukan –nya = ia atau dia (orang ke tiga). Oleh karena itu,
dalam konteks itu bukan –nya yang dipakai.
5. Saya memenangkan dia dalam pertandingan
itu.
Kata memenangkan dalam
pemakaian bahasa dewasa ini perlu mendapat perhatian kita karena yang menarik
dari penggunaan kata ini ditinjau dari bentuk dan artinya. Mari kita bahas
bentuk itu dengan makna yang dikandung oleh imbuhan yang melekat pada kata itu,
yaitu me-kan.
Contoh:
Saya
memenangkan dia dalam pertandingan itu.
Kalimat
di atas mempunyai arti bahwa saya telah membuat dia, menjadikan dia, atau
menyebabkan dia menang dalam pertandingan itu, misalnya, dengan sengaja
mengalah karena tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Kalau
seperti di atas ini kata memenangkan itu digunakan dalam kalimat, maka
penggunaannya betul-betul tepat dilihat dari segi makna. Tetapi sering kita
melihat bahwa kata atau bentuk memenangkan itu digunakan dalam kalimat
secara salah karena tidak memberikan makna seperti yang sudah dijelaskan di
atas. Mari kita lihat contoh penggunaan yang salah.
1.
Suharyadi memenangkan pertandingan itu.
2.
Elyas Pikal memenangkan hadiah Rp100 juta.
Coba
perhatikan penggunaan kata memenangkan dalam kedua kalimat di atas
baik-baik. Tadi sudah dijelaskan di atas bahwa memenangkan artinya
‘menjadikan menang’.
Perhatikan
kalimat 1: Suharyadi memenangkan pertandingan itu artinya Suharyadi
menjadikan pertandingan itu menang. Mungkinkah pertandingan menang?
Mungkinkah benda mati itu menang? Jelas tidak mungkin. Kalau begitu, penggunaan
kata memenangkan dalam kalimat itu salah. Begitu juga dengan penggunaannya
dalam kalimat 2 , sama saja salahnya: memenangkan hadiah berarti hadiah
yang dibuat menang.
Menilik
makna kata bentukan itu dengan penjelasan makna imbuhan pada kata itu, Anda dapat
mengambil kesimpulan bahwa kata itu selama ini sudah salah dipakai orang. Bukan
hanya dalam bahasa tulisseperti pada contoh kalimat 1 dan 2 di atas. Cobalah
Anda denganrkan komentar olahraga di TVRI. Komentator olah raga itu juga
menggunakan kata memenangkan itu secara salah. Saya katakan salah kaprah
karena kesalahan itu tidak lagi disadari oleh para pemakaianya dan bentuk yang
salah itu diapakai terus seperti itu. Tentu sukar meluruskan kembali yang sudah
“bengkok”. Usaha yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan
seperti itu ialah melalui pengajaran bahasa di sekolah-sekolah. Kita
mengharapkan (hanya dapat mengharap) semoga generasi muda yang sudah mendapat
pendidikan yang baik di sekolah akan dapat menghindari kesalahan umum yang disebut
salah kaprah, yang dewasa ini banyak kita temukan dalam bahasa Indonesia.
Kalimat
di atas dapat diubah dengan beberapa cara sebagai berikut.
Kalimat 1:
1a. Suharyadi menang dalam pertandingan itu.
1b. Suharyadi menjuarai pertandingan itu.
1c. Suharyadi menjadi juara dalam pertandingan
itu.
1d. Suharyadi meraih juara pertama dalam
pertandingan itu.
Kalimat 2:
2a. Elyas Pikal mendapat hadiah Rp 100 juta.
2b. Elyas Pikal menerima hadiah Rp 100 juta.
2c. Elyas Pikal meraih hadiah Rp 100 juta.
6. Dirgahayu RI atau Dirgahahayu HUT RI?
Kita
bicarakan kali ini tentang penggunaan
kata dengan makna yang tepat dalam kalimat. Sering kita membaca sebuah kalimat
yang di dalamnya digunakan sepatah kata dengan makna yang kurang tepat. Hal itu
tentu saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman pemakai bahasa terhadap arti
kata tersebut.
Saya
ingin membicarakan pemakaian kata dirgahayu yang tiap tahun dipakai oleh
bangsa Indonesia dalam menghias gedung pemerintah atau menulisi kain rentang
atau spanduk dsb. Tiap tahun dalam menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus.
Kita
baca kalimat-kalimat berikut:
DIRGAHAYU
HUT RI KE-XXXVI
DIRGAHAYU
HUT KE –XXXVI RI
Penggunaan kata dirgahayu
pada kalimat di atas ini jelas salah karena kata dirgahayu ditempatkan
di depan kata hari ulang tahun (HUT). Jika Anda buka Kamus Umum Bahasa
Indonesia susunan Poerwadarminta, akan Anda temukan di dalamnya kata- kepala dirgahayu.
Di belakang kata itu ada singkatan sl. Artinya, kata itu terdapat dalam sastra
lama; arti kata itu ‘(mudah-mudahan) berumur panjang; hidup.
Kalau
kita alihkan kalimat di atas, maka kalimat itu dapat kita ganti menjadi:
MUDAH-MUDAHAN
BERUMUR PANJANG HUT RI KE-XXXVI
atau
HIDUPLAH HUT RI KE-XXXVI
Pada
kalimat ini dapat dilihat bahwa yang
didoakan panjang usianya bukan negara Republik Indonesia, melainkan hari
ulang tahunnya. Padahal, hari ulang tahun itu hanya berumur sehari. Yang
diserukan agar hidup itu bukan negara RI, melainkan hari ulang tahun yang
ke-36. Jelas, penggunaan kata dirgahayu seperti di atas tidak tepat.
Sebenarnya
mengenai kesalahan penggunaan kata dirgahayu, sudah sering diulang kembali oleh pembawa acara Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI Stasiun
Pusat. Dijelaskan dan diberikan contoh bagaimana menggunakan kata itu secara
tepat sesuai dengan makna yang terkandung pada kata itu. Namun, setiap tahun
pula kita membaca tulisan yang salah karena orang tidak memperhatikan arti kata
itu.
Dengan
demikian, Anda dapat membuat kalimat sebagai berikut:
DIRGAHAYU
RI BER-HUT XXXVI
atau
DIRGAHAYU RI BER-HUT KE-36
atau
HUT RI KE-36
DIRGAHAYU
KEMERDEKAAN KITA
Jadi,
yang didoakan agar panjang usianya itu ialah negara Republik Indonesia yang
berhari ulang tahun ke- 36. Atau, yang didoakan itu ialah kemerdekaan yang
telah kita miliki itu panjang usianya, berlanjut sampai akhir zaman karena kita
tidak mau penjajajhan oleh bangsa lain berulang lagi.
Kesalahan
yang kita lihat pada contoh di depan ialah penulisan bilangan yang menyatakan
tingkat. Bukan ke-XXXVI, melainkan ke-36, atau memakai angka
Romawi saja tanpa ke- di depannya. Selain itu, kalau itu memakai ke-
di depan angka, haruslah dipakai pula garis tanda hubung antara ke- dan angka
Arab itu. Kalau angka Romawi yang digunakan, tak perlu dipakai ke-
di depannya. Perhatikan contoh di atas.
Mudah-mudahan
kesalahan seperti di atas tidak terjadi lagi pada tahun-tahun yang akan datang.
7. Sampai jumpa di lain kesempatan
Kalau
anda seorang pemirsa yang setia, artinya tiap malam duduk di depan layar
televisi, anda tentu akan tidak asing lagi dengan kalimat: Sampai jumpa di
lain kesempatan. Kelihatannya kalimat itu sangat pendek, tetapi kalau kita
teliti dari segi bahasa ragam resmi
baku, berpegang pada kaidah bahasa Indonesia, maka kita dapat mengatakan bahwa
di dalam kalimat yang pendek itu terdapat tiga kesalahan.
Pertama,
frase sampai jumpa. Kata jumpa
bersinonim dengan temu, sua; berjumpa = bertemu = bersua. Dapatkah kita
mengatakan sampai temu lagi, atau sampai sua lagi? Tidak dapat
karena terdengarnya janggal, bukan? Seharusnya kita mengatakan Sampai bersua
lagi. Nah, begitu juga dengan kalimat sapaan yang tertera pada judul di
atas. Bukan sampai jumpa, melainkan sampai berjumpa.
Kalau
kita mengamati pemakaian bahasa Indonesia dewasa ini, kita akan segera dapat
melihat bahwa ada gejala penghilangan awalan ber- pada beberapa kata
kerja yang sebenarnya harus berawalan ber-.
Misalnya:
1. Para pemain sudah kumpul di lapangan
2. Setahu saya Amat dan Tina sudah cerai.
Semua kata yang bercetak miring dalam
kalimat di atas ini hendaknya berawalan ber-: berkumpul, bercerai.
Epai, mungkin karena kemalasan orang atau karena pengaruh bentukan kata bahasa
daerah, awalan ber- itu ditanggalkan orang sehinga menjadi kata yang
tidak berawalan ber-.
Kedua,
frase di lain kesempatan. Di sini terdapat dua kesalahan. Kesalahan
pertama, tentang susunan lain kesempatan. Kita tahu bahwa salah satu
aturan bahasa Indonesia ialah bahwa kata yang diterangkan selalu terletak di
depan, sedangkan kata yang berfungsi menerangkan terletak di belakang kata yang diterangkan
itu. Jadi, susunannya diterangkan (D) menerangkan (M). Kata yang diterangkan
pada frase itu ialah kesempatan, sedangkan kata lain berfungsi
menerangkan. Jadi, susunannya bukan lain kesempatan, melainkan
kesempatan lain atau kesempatan yang lain. Unsur yang pada frase ini bersifat fakultatif artinya
boleh digunakan dan boleh juga tidak karena tidak mengubah arti. Kesalahan
kedua, pada frase itu ialah penggunaan kata depan di. Di depan kata
keterangan waktu hendaknya digunakan kata depan pada. Kata depan di
hendaknya digunakan di depan kata benda yang menyatakan tempat, misalnya di
kantor, di sekolah, di pasar, dan lain-lain. Jadi, kalau kalimat di atas
dikembalikan pada kalimat yang sesuai dengan ragam baku, maka kalimat itu
seperti di bawah ini.
1. Sampai berjumpa pada kesempatan lain.
2. Sampai berjumpa lagi pada kesempatan lain.
3. sampai bersua lagi pada kesempatan lain.
4. sampai bertemu lagi pada kesempatan lain.
8. PENGHILANGAN UNSUR BAHASA
Dalam
pemakaian bahasa tampak dua hal yang bertentangan sering dilakukan oleh
pemakaia bahasa. Kadang-kadang orang dengan sengaja menghilangkan unsur-unsur
bahasa tertentu, padahal unsur bahasa itu perlu digunakan. Sebaliknya, kadang-kadang
orang juga menambahkan unsur-unsur bahasa yang justru sebenarnya tidak
diperlukan. Kedua hal itu akan dibicarakan sebagai berikut.
Penghilangan Kata
Akhir-akhir ini dalam
pemakaian bahasa Indonesia sering kita jumpai penghilangan unsur kata depan
dalam frase atau kalimat: dengan, atas, oleh, kepada, bagi.
1. Dengan
Dalam
bahasa Indonesia terdapat beberapa ungkapan yang terdidi atas frase dengan kata
depan dengan. Frase yang dibentuk dengan kata depan dengan adalah
sebagai berikut.
- berhubung dengan
- berhubungan dengan
- bertalian dengan
- berkenaan dengan
- bertepatan dengan
- berkaitan dengan
- berelasi dengan
- berbeda dengan
- berlainan dengan
- selaras dengan
- sesuai dengan
- seiring dengan
- seirama dengan
- sejalan dengan
- bertentangan dengan
Frase itu sudah merupakan
ungkapan tetap sehingga kata depan pada frase-frase itu tidak boleh dihilangkan
begitu saja.
Contoh:
1. Berhubung saya sakit, saya tidak masuk
kantor hari ini.
Dalam kalimat (1) di atas
orang mengatakan berhubung saya sakit .......; kata depan dengan di belakang kata berhubung dihilangkannya. Ini
tidak tepat. Kata berhubung disamakannya dengan dengan kata karena,
padahal kedua kata itu tidak sama Kata berhubung dengan digunakan bila
peristiwa yang pertama ada hubungannya dengan peristiwa ke dua, sedangkan kata karena
digunakan bila peristiwa yang disebutkan pada klausa pertama menyatakan sebab
peristiwa yang disebutkan pada klausa yang satu lagi.
Kalimat tadi haruslah diubah menjadi:
1a. Karena saya sakit, saya tak dapat masuk kantor
hari ini.
1b.
Berhubung dengan kesehatan saya agak terganggu, saya tak dapat masuk kantor
hari ini
2. Sesuai keputusan rapat....
Sering juga orang mengatakan sesuai
keputusan rapat…; seharusnya dikatakan sesuai dengan keputusan rapat…;
Kata dengan mengeksplisitkan hubungan antara sesuai dan keputusan;
jangan dihilangkan. Jadi, haruslah dikatakan, sesuai dengan keputusan
rapat….
1. Sesuai
tujuan pembicaraan, dalam makalah ini hanya dibicarakan peranan koperasi dalam
pembangunan.
2. Hargailah orang lain sesuai kodratnya.
Dalam kalmat (2) dan (3) itu
terdapat penghilangan kata depan dengan. Penghilangan itu sesungguhnya
salah sebab sesuai dengan itu merupakan ungkapan tetap. Oleh karena itu,
kata depan dengan tidak boleh dihilangkan, sehingga kedua kalimat
tersebut harus diubah menjadi:
2a. Sesuai
dengan tujuan pembicaraan, dalam makalah ini hanya dibicarakan peranan
koperasi dalam pembangunan.
3a. Hargailah orang lain sesuai dengan kodratnya.
2. Atas
Akhir-akhir
ini kita lihat kecenderungan orang menghilangkan kata depan atas pada
frase terdiri atas. Frase ini biasa pula dijadikan orang terdiri dari.
Jadi, alih-alih menggunakan kata depan atas, dan lebih sering orang
sekarang menggunakan kada depan dari di belakang kata terdiri. Seperti
sudah dikatakan di atas, frase itu sudah merupakan ungkapan tetap. Oleh karena
itu, jangan dihilangkan atau dibuang kata depan atas yang menyertai kata
itu.
Perhatikan
: Rumah itu terdiri tiga kamar tidur; penggunaan kata terdiri
seperti itu tidak tepat. Seharusnya dikatakan Rumah itu terdiri atas tiga
kamar tidur.
3. Bagi
Sering
kita dengar kata depan bagi dalam frase diperuntukkan bagi dihilangkan
orang saja. Misalnya dalam kalimat Zakat fitrah itu diperuntukkan bagi fakir
miskin. Kata bagi di depan fakir miskin dihilangkan sehingga kalimat
menjadi Zakat fitrah itu diperuntukkan fakir miskin. Hubungan gatra diperuntukkan
dengan fakir miskin dalam kalimat itu seolah-olah menjadi lepas. Frase diperuntukkan
bagi merupakan ungkapan tetap (frase berkata depan bagi). Oleh karena itu,
jangan dihilangkan begitu saja kata depan bagi dalam frase itu.
Kalimat
Saya kurang jelas yang sering juga
diucapka orang jika ingin meminta agar keterangan yang diberikan orang lain diulangi
sekali lagi. Kalau dikatakan demikian, berarti bahwa yang belum jelas itu saya
. Padahal, yang belum jelas itu
ialah keterangan yang diberikan orang itu. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Penyebabnya adalah kata depan bagi di depan kalimat itu dihilangkan,
sehingga makna kalimat menjadi lain. Seharusnya dikatakan Bagi saya kurang
jelas. Lengkapnya kalimat itu Keterangan
itu bagi saya kurang jelas. Kata
depan bagi dalam kalimat itu sama sekali tidak boleh dihilangkan.
Penghilangan Imbuhan
1. Awalan ber-
Selain penghilangan kata dalam
frase, kita juga sering melihat penghilangan imbuhan pada kata-kata bentukan
yang seharusnya tidak boleh terjadi seperti pada kata-kata berikut ini.
Kata
jumpa seperti pada sampai jumpa lagi, seharusnya ditambah ber-
sehingga menjadi berjumpa seperti pada sampai berjumpa lagi.
Kata
jumpa merupakan bentuk prakategorial, sama halnya dengan temu, sua,
yang tidak pernah berdiri sendiri, seperti dalam sampai temu lagi atau sampai
sua lagi. Kalau bentuk sampai temu lagi tidak pernah digunakan,
maka penggunaan sampai jumpa lagi
dalam bahasa tulis atau bahasa lisan ragam resmi termasuk bentuk yang tidak
benar. Perhatikan contoh berikut.
Kesalahan Umum
- Sampai jumpa lagi di ibu kota tercinta.
- Ketika saya datang, mereka sudah kumpul di rumah.
- Silakan Saudara bicara dengan terus terang di depan petugas.
- Keluarga kami akan musyawarah lagi tentang harta peninggalan kakek.
- Saya akan cerita tentang pengalaman saya ketika bertugas di Amerika.
- Kita harus rela korban jiwa untuk mempertahankan kedaulatan negara kita dari ganguan musuh
Kata-kata jumpa, kumpul, bicara, musyawarah, cerita
dan korban di atas merupakan kata dasar yang dijadikan predikat kalimat.
Sementara itu, semua kalimat di atas termasuk kalimat aktif transitif.
Seharusnya bentuk kata kerja intransitif dalam kalimat itu adalah berjumpa,
bekumpul, berbicara, bermusyawarah, bercerita, berkorban, sehingga
perbaikan kalimatnya menjadi sebagai berikut.
Bentuk yang Dianjurkan
1a. Sampai berjumpa lagi di ibu kota tercinta.
2a. Ketika saya datang, mereka sudah berkumpul di
rumah.
3a. Silakan Anda berbicara dengan terus terang di
depan petugas
4a. Keluarga kami akan bermusyawarah lagi tentang
harta peninggalan kakek.
5a. Saya akan bercerita tentang pengalaman saya
ketika bertugas di Amerika.
6a. Kita
harus rela berkorban jiwa untuk mempertahankan kedaulatan Negara kita dari
gangguan musuh
2. Awalan meN-
Ada juga gejala penghilangan awalan meN- dalam
pemakaian bahasa Indonesia. Penghilangan awalan meN- ini sebenarnya adalah
ragam lisan yang dipakai dalam ragam tulis. Akhirnya, terjadilah pencampuradukan
ragam lisan dan ragam tulisan yang menghasilkan suatu bentuk kata yang salah.
Kita sering menemukan penggunaan kata-kata: nyuap, nabrak, nyubit, nangis,
dan nyari. Dalam bahasa Indonesia baku, kita harus menggunakan awalam meN-
secara eksplisit, sehingga kata-kata itu menjadi: menyuap, menabrak,
mencubit, menangis, dan mencari. Perhatikan contoh di bawah ini.
Kesalahan Umum
- Penyelundup itu berusaha nyuap petugas, tetapi petugas menolaknya.
- Pengendara motor itu nabrak pejalan kaki.
- Ibu itu nyubit anaknya yang nakal.
- Anak itu menganggu temannya sampai nangis.
Bentuk baku
- Penyelundup itu berusaha menyuap petugas, tetapi petugas menolaknya.
- Pengendara motor itu menabrak pejalkan kaki.
- Ibu itu mencubit anaknya yang nakal.
- Anak itu mengganggu temannya sampai menangis.
Konsep awalan me- dan meN-
Dahulu
kita mengenal awalan me-, dengan
penjelasan sebagai berikut:
Awalan me- “memperoleh” /m/ di depan
kata-kata yang berawal dengan /p/ dan /b/; “memperoleh” /n/ di depan kata-kata
yang berawal dengan /d/, /t/; “memperoleh”
/ng/ di depan kat-kata yang berawal dengan /k/, /g/, /h/; “memperoleh”
/ny/ di depan kata-kata yang berawal dengan /c/, /j/, dan /s/. Di depan /y/,
/r/., /l/, /w/ me tetap saja me.
Konsep
ini sekarang berubah. Kita melihat tadi bahwa me- itu tidak berubah atau
tidak “memperoleh” apa-apa hanya di depan empat fonem saja, yaitu /y/, /r/,
/l/, dan /w/. Di depan semua vokal dan sisa konsonan yang lain ternyata bahwa
me- itu memperoleh /m/, /n/, /ng/, /ny/, semuanya adalah fonem Nasal.
Karena penambahan ini terasa lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang
tidak memperoleh apa-apa tadi, maka lebih “demokratis” kalau jumlahnya banyak
ini dipakai sebagai pegangan dan yang jumlahnya sedikit tadi dianggap sebagai
“kekecualian”. Berdasarkan konsep ini, maka kita sekarang tidak lagi mengatakan
adanya awalam me-, melainkan awalan meN- (dengan catatan bahwa N-
ini adalah singkatan dari Nasal, rangkuman dari semua bunyi nasal atau
sengau yang empat tadi).
Kalau
dengan me- kita bertolak dari “tidak ada” menjadi “ada” (yaitu
memperoleh nasal), maka dengan meN- kita bertolak dari “ada” (yaitu ada
nasal di situ). Karena yang ada di situ tadi merupakan abstraksi (yaitu N) dari
empat fonem, maka kita mengatakan bahwa meN- ini berubah menjadi “wujud”
(realisasi) yang sebenarnya dari N itu, yaitu /m/, /n/, /ng/, /ny/.
Tentang
me-, sekarang kita mengatakan demikian. Di dalam ilmu pengetahuan kita
memerlukan sistem yang ajeg. Karena terhadap yang nasal-nasal tadi kita
mengatakan “N” berubah menjadi ...”, maka untuk me- kita harus
mengatakan begitu, supaya tetap bersistem, tetap ajeg. Karena itu, kita berkata
meN- berubah menjadi me0 (baca me- kosong atau zero), di mana “kosong”
(yang ditandai dengan 0) itu berarti juga memperoleh “N” tetapi “tidak
memperoleh apa-apa”.
Akhir-akhir
ini kita mengenal kata-kata bersuku satu, seperti tes, bom, pak, cek,
yang kalau diberi awalan me- menjadi mengetes, mengebom, mengepak,
mengecek. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa sekarang meN bisa
berubah menjadi menge- di depan kata-kata bersuku satu.
Sejalan
dengan perubahan yang terjadi pada meN-, awalan peN- pun mengubah
konsep pe-. Sekarang kita bisa mengatakan awalan peN- berubah
menajadi pem-, pen, peng, peny dan penge- (pengetesan, pengeboman,
pengepakan, pengecekan).
Karena
kedua awalan ini bersangkutan dengan berubahnya nasal, dari abstraksi menjadi
realisasi, maka kita bisa berbicara tentang proses nasal atau nasalisasi.
Sampai
sekian jauh kita masih berbicara tentang kata dasar dan imbuhan, khususnuya
awalan dan akhiran, dan itu pun tidak kita bicarakan semua imbuhan.
Konfiks dan Simulfiks
Di samping itu, terdapat
juga konfiks dan simulfiks.
Kedua istilah ini sering membingungkan karena keduanya sering dikacaukan. Saya
ingin kembali kepada istilah dalam bahasa Inggris saja.
Dalam
bahasa Inggris ada istilah simultaneous afixes, disingkat menjadi simulfix
yang kemudian diindonesiakan menjadi simulfiks. Sesuai dengan namanya
yang simultaneous itu, maka di sana harus ada unsur simultan atau
sekaligus. Artinya, yang disebut simulfiks itu adalah dua buah
afiks (imbuhan ) yang hadir secara simultan atau sekaligus.
Contohnya adalah ke-an (dalam misalnya kedudukan, kebiasaan). Dalam
kata-kata ini tidak ada bentuk keduduk atau dudukan, kebiasa
atau biasaan; per-an (dalam misalnya, perkebunan, perikanan).
Tidak ada bentuk perkebun atau kebunan, perikan atau ikanan;
se-nya (dalam misalnya sesungguhnya). Tidak ada sesungguh
atau sungguhnya. Afiks-afiks
(imbuhan-imbuhan itu melekat secara simultan atau sekaligus. Dengan
demikian, afiks itu disebut dengan simulfiks. Kata-kata tersebut terdiri
atas dua morfem, yaitu morfem (ke-an) + duduk; (ke-an) + biasa; (per-an) +
kebun, (per-an) + ikan; (se-nya) + sungguh.
Di
samping itu, ada istilah combination afixes (afiks kombinasi atau
gabungan afiks), atau continuous afixes (afiks besinambung). Keduanya (continuous
afixes) disingkat menjadi confix atau diindonesiakan menjadi konfiks.
Sesuai dengan namanya itu, maka istilah konfiks itu mengacu kepada dua
atau tiga afiks yang datangnya tidak simultan atau tidak sekaligus,
melainkan berturut-turut, satu demi satu. Contohnya adalah ber-an
(dalam misalnya berpakaian). Pada kata ini pada mulanya ada kata dasar pakai,
kemudian melekat akhiran –an,
sehingga terdapat bentuk dasar pakaian. Selanjutnya dari bentuk dasar pakaian
mendapat awalan ber- sehingga menjadi berpakaian. Dengan
demikian, kata tersebut terdiri atas tiga morfem, yaitu ber+ pakai+ an. Kata padu dibubuhi ter-,
menjadi terpadu, kemudian diibuhi lagi ke-an sehingga menjadi keterpaduan.
Dari
adanya contoh-contoh tentang konfiks inilah muncul konsep tentang kata
dasar dan bentuk dasar serta konsep tentang bagian langsung atau
unsur langsung.
Kita
lihat bahwa dari kata dasar padu bisa dijadikan terpadu; dan dari
terpadu dijadikan keterpaduan. Kita mengatakan terpadu
adalah bentuk dasar dari bentukan keterpaduan. Kata padu di
samping kata dasar juga bentuk dasar dari bentukan terpadu. Jelasnya: bentuk
dasar adalah bentuk yang menjadi dasar bagi bentuk yang lebih besar.
Berdasarkan
proses itu, maka kalau kita menganalisis atau “memecah-mecah” bentukan yang
“lebih besar” tadi menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian yang lebih kecil,
maka prosesnya kita balik, sehingga akan ditemukan analisis seperti:
padu
--- > terpadu --- > keterpaduan
menjadi:
keterpaduan --- >
terpadu + (ke – an)
--- > (ter + padu ) + (ke-an)
atau begini:
keterpaduan
ke-an
terpadu
ter- padu
9. KATA DAN AKHIRAN ASING
Kata Asing
Pemakai
bahasa Indonesia yang memiliki kemahiran menggunakan bahasa asing tertentu
sering menyelipkan kata-kata asing yang dikuasainya dalam pembicaraan atau
tulisannya. Kemungkinannya adalah pemakai bahasa itu ingin memperagakan
kebolehannya atau bahkan ingin meperlihatkan keintelekannnya kepada khalayak .
Dia tidak sadar tindakannya itu kurang terpuji. Dalam hubungan ini, ada kaidah
yang menyatakan bahwa jika kita berbahasa Indonesia, berbahasa Indonesialah
dengan baik. Jika kita berbahasa asing , berbahasa asinglah dengan baik. Dengan
kata lain, kita tidak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa
asing sekaligus dalam suatu kesempatan.
Misalnya
Kesalahan Umum
- Dalam work shop ini akan dibahas working paper agar diperoleh input bagi kta semua.
- Kita harus segera menuyusun project proposal dan sekaligus butgeting-nya.
- At last, semacam task force perlu dibentuk dahulu untuk job ini
- Coba you kemukakan planning pementasan drama tersebut.
- Kita harus segera mengadakan cross check dengan dinas terkait.
- Pimpinan dan karyawan harus mengadakan approach untuk membicarakan masalah kepegawaian.
Memang kalimat-kalimat itu
terasa hebat karena sudah dibumbui bahasa asing. Hanya sayang pembicara
tersebut tuna harga diri terhadap bahasanya sendiri. Ia merasa lebih bangga
menggunakan kata-kata asing daripada menggunakan kata-kata bahasanya yang sebenarnya
harus lebih dibanggakan. Kalimat-kalimat seperti itu hanya dapat dipahami oleh
segelintir orang yang sudah beruntung mengikuti pendidikan yang memadai, tetapi
belum tentu dapat dipahami oleh orang-orang yang berpendidikan rendah, bahkan
tidak mustahil bagi mereka yang tidak mengerti kata-kata asing tersebut. Akan
lain kesan mereka jika kalimat itu diucapkan sebagai berikut.
Bentuk Yang Dianjurkan
- Dalam sanggar kerja ini akan dibahasa beberapa kertas kerja agar diperoleh masukan bagi kita semua.
- Kita harus segera menyusun rancangan kerja dan sekaligus rancangan biayanya.
- Akhirnya, semacam satuan tugas perlu dibentuk dahulu untuk pekerjaan ini
- Coba Anda /Saudara kemukakan rencana pementasan drama tersebut.
- Kita harus sering mengadakan saling koreksi dinas terkait
- Pimpinan dan karyawan harus mengadakan pendekatan untuk membicarakan masalah kepegawaian.
Ada gejala lain
Di setiap jalan raya di
kota-kota banyak terpampang papan nama yang menggunakan kata asing, bahkan di
desa terpencil pun terpampang papan nama yang mengunakan kata asing. Padahal,
selama ini belum pernah seorang turis asing yang berkunjung ke desa itu. Alasan
penggunaannya mungkin sama, yakni ingin agar papan nama itu bergengsi, atau
sekadar gagah-gagahan, yang belum tentu pemasangnya sendiri mengerti betul arti
tulisan yang dipampangkannya. Padahal, jika kita ingin menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik, penggunaan kata-kat asing yang sudah ada padanannya itu
dalam bahasa Indonesia tidak perlu. Kata asing hanya dapat digunakan jika memang
betul-betul diperlukan dan tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Perhatikan kata-kata asing di bawah ini.
Bentuk Tidak Baku Bentuk
Baku
1.
Sederhana
Taylor 1. Penjahit Sejahtera
- Barber Shop 2. Pemangkas Rambut
- Supermarket 3. Pasar Swalayan
- Coffe Shop 4. Kedai Kopi
- Video Rental 5. Penyewaan Video
- Agung Shop 6 . Toko Agung
- Garuda Theater 7. Bioskop Garuda
- Royal Furniture 8. (Toko) Mebel Royal
- Computer Center 9. Pusat Komputer
Contoh lain:
1. Ranking
Adik ranking berapa?
Kata
ranking (Inggris) berarti ‘pemeringkatan’ yang berasal dari kata dasar rank
yang berarti ‘peringkat’. Jika kata ranking yang digunakan dalam
pengertian peringkat , seperti dalam kalimat pertanyaan Adik ranking berapa? Pemakaian kata ranking
itu tidak tepat. Ranking yang berarti ‘pemeringkatan’ atau berarti
‘hal atau perbuatan, cara menyusun urutan berdasarkan tolok ukur tertentu’,
seperti juimlah nilai mata pelajaran dalam rapor seorang anak. Kedudukan anak
tersebut dalam kelasnya disebut peringkat atau rank. Kalimat Adik ranking berapa?, harus diubah menjadi
Adik peringkat berapa?
2. Free parking
Di
halaman apotek, tempat praktek dokter, atau pasar swalayan terpampang tulisan free
parking diartikan dengan ‘bebas parkir’.
Kurang
tepat jika free parking dipadankan dengan kata bebas parkir.
Yang benar untuk free parking adalah parkir
gratis, parkir tanpa bayar.
Bebas parkir seharusnya diartikan dengan ‘dilarang
parkir’ atau no parking. Dalam bentuk ekplisit bebas dari parkir.
Akhiran Asing
Ada
beberapa akhiran asing yang perlu kita bicarakan karena bentuk-bentuk kata
bahasa Indonesia hasil pengindonesiaan kata-kata asing itu yang pemakaiannya
masih belum mantap. Perubahan bentuk lama ke bentuk baru berdasarkan buku
Pedomam Umum Ejaan yang Disempurnakan dan buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah
belum ditaati oleh pemakai bahasa Indonesia secara menyeluruh, sehingga sampai
saat ini kita masih melihat adanya bentuk kembar atau bersaing antara bentuk
lama dengan bentuk baru. Secara rinci akhiran asing itu akan dpaparkan berikut
ini.
1.
Akhiran –sasi atau -isasi
Akhiran –isasi kita jumpai
pada kata-kata bentukan seperti spesialisasi, modernisasi, liberalisasi,
netralisasi. Bandingkan dengan bahasa Belanda : socialisatie, modrenisatie,
liberalaisatie, netralisatie, dan bahasa Inggris specialization,
modernization, neutralaization. Dalam buku Pedomamn Pembentukan Istilah dan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ditentukan sebagai
berikut: -(a)tie, (a) tion menjadi
-asi, si
actie,
action menjadi aksi
publicatie, publication menjadi publikasi
Dalam pemakaian bahasa, selalu
tampak bahwa pemakai bahasa Indonesia sering lebih senang menggunakan kata
asing walaupun dalam bahasa Indonesia telah ada kata Indonesia yang searti dengan kata asing itu. Atau
menggunakan bentukan yang meniru bentukan asing walaupun dalam bahasa Indonesia
ada cara membentuk kata dengan pengertian seperti itu. Misalnya, orang lebih
senang menggunakan bentuk modernisasi daripada pemodernan, netralisasi
daripada penetralan; indonesianisasi daripada pengindonesiaan.
Oleh karena itu, muncul
bentuk-bentuk seperti turinisasi ‘penghijauan dengan menanam pohon
turi’, pompanisasi’ pemakaian pompa untuk mengairi sawah’.
Analogi bentukan semacam itu sebaiknya
dibatasi. Kalau bisa, gunakanlah cara asli dalam bentuk kata-kata Indonesia.
Misalnya, dalam hal seperti itu, bila dapat gunakan imbuhan pe-an dan tidak menggunakan bentukan dengan –sasi.
Pengindonesiaan tidak usah dikatakan Indonesianisasi, dan
sebagainya.
2. Akhiran –ir
Pemakaian akhiran –ir
sangat produktif dalam penggunaan bahasa Indonesia dewasa ini. Dalam bahasa
Indonesia baku akhiran yang tepat untuk padanan akhiran –ir adalah –asi
atau –isasi. Jadi bentuk yang baku adalah dilegalisasi, bukan dilegalisir.
Mengapa dalam bahasa Indonesia dipilih dilegalisasi, bukan dilegalisir.
Penjelasannya sebagai berikut.
Kata benda legalisasi
diserap dari kata legalisatie (Belanda) atau dari kata benda legalization
(Inggris). Jika kata benda legalisasi ini dijadikan kata kerja dengan
ditambah imbuhan –me atau di-, hasilnya menjadi melegalisasi atau dilegalisasi.
Banyak orang menganggap bahwa legalisir
yang benar karena katanya, kata tersebut diserap berdasarkan bunyinya legaliseren
(Belanda). Memang dalam bahasa Belanda terdapat kata legaliseren, tetapi
kelas katanya kata kerja yang artinya ‘mengesahkan’ . Jika kata kerja legalisir
yang sudah berarti ‘mengesahkan’ itu ditambah lagi dengan imbuhan me-
hasilnya menjadi melegalisir. Ini sama dengan me + mengesahkan,
sehingga hasilnya menjadi memengesahkan. Demikian juga, jika legalisir
yang sudah berarti ‘mengesahkan’ ditambah imbuhan –di sehingga
hasilnya menjadi dimengesahkan. Ini merupakan bentuk tidak benar.
Sebagai bandingan, ikutilah
penjelasan berikut tentang kata proklamasi dan proklamir. Kata
yang baku ialah proklamasi, bukan proklamir. Kata proklamasi
diserap dari kata benda proclamatie (Belanda) atau dari kata benda proclamation
(Inggris). Jika kata proklamasi diberi imbuhan me- atau di-,
hasilnya menjadi memproklamasikan atau diproklamasikan. Kata proclameren
(Belanda) tidak diserap menjadi proklamir karena kata tersebut dalam
bahasa aslinya diperlakukan sebagai kata kerja yang berarti ‘mengumumkan‘.
Jadi, jika kata proklamir yang sudah berarti mengumumkan’
ditambah imbuhan me- yang hasilnya menjadi memproklamirkan, arti
yang dikandungnya sangat tidak mungkin, yaitu ‘memengumumkan’, atau jika
ditambah awalan di-, menjadi diproklamirkan, artinya tidak logis ‘dimengumumkan’.
Itulah sebabnya kita menyerap dari proclamatie (Belanda) atau proclamation
(Inggris) yang tergolong kata benda. Jika proklamasi ditambah me-
atau di-, hasilnya menjadi memprokalmasikan atau diprokalmasikan
yang berarti ‘mengumumkan atau diumumkan’.
Akhiran –ir yang sering dijumpai terdapat pada kata-kata berikut.
Bentuk salah
- Ijazah Saudara harus dilegalisir dahulu oleh Dekan Fakultas Ekonomi.
- Perbuatan maksiat sebaiknya tidak usah dilokalisir.
- Saya sanggup mengkoodinir kegiatan itu.
- Sukarno Hatta memproklamirkan negara Republik Indonesia.
Bentuk yang benar
- Ijazah Saudara harus dilegalisasi dahulu oleh Dekan fakultas Ekonomi.
- Perbuatan maksiat sebaiknya tidak usah dilokalisasi.
- Saya sanggup mengkoordinasi kegiatan itu.
- Sukarno-Hatta memprokalmasikan negara Republik Indonesia.
Contoh lain yang sering digunakan dalam
bentuk yang salah: terealisir, teroganisir, mendominir, mengakomodir,
dinetralisir. Bentuk tersebut haruslah diungkapkan: terealisasi,
terorganisasi, mendominasi, mengakomodasikan, dinetralisasi
3. Akhiran –is
Dalam bahasa Indonesia, kita
mengenal kata-kata ekonomis, praktis, logis. Kata-kata itu diserap dari
dari bahasa Belanda : economisch, practisch, logisch. Jadi, akhiran
bahasa Belanda –isch dijadikan is dalam bahasa Indonesia.
Kata-kata dengan akhiran –ish seperti di atas dalam bahasa Belanda
merupakan merupakan kata sifat, demikian juga kata-kata Indonesianya. Ekonomis
artinya ‘bersifat ekonomi, maksudnya ‘mempertimbangkan prinsip-prinsip
ekonomi’, praktis artinya ‘mudah diterapkan di dalam praktek’.
Kata-kata di atas dalam bahasa
Inggris: economical, practical, logical. Kalau kata-kata Inggris itu
yang diserap, tentulah dalam bahasa Indonesia bentuknya ekonomikal,
praktikal, logikal. Tetapi, bentuk-bentuk dengan akhiran –ikal
seperti itu, pada umumnya, tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia . Dalam buku
Pedoman Umum Pembentukan Istilah, dikatakan bahwa kata-kata Inggris yang
berakhir –ical, dalam bahasa Indonesia dijadikan kata dengan akhir -is.
Yang perlu diperhatikan ialah
bahwa akhiran –is dalam bahasa Indonesia tidak diambil dari –isch
saja (Belanda) sebab kita mengambil kata asing itu secara utuh, artinya kata
itu diserap sekaligus dengan akhirannya. Kemudian ejaannya (cara penulisannya)
disesuaikan dengan cara penulisan dalam bahasa Indonesia. Kebanyakana kata-kata
dengan akhiran –is dalam bahasa Indonesia berasal; dari bahasa Belanda.
Namun, dalam pekembangannya bahasa Indonesia akhir-akhir ini, kita melihat
bahwa akhiran -is itu mulai melampaui batas asalnya. Maksudnya, akhiran –is
mulai dipakai pada bentuk-bentuk dasar yang bukan bahasa Belanda saja,
melainkan pada bentuk dasar dari bahasa lain.
Contohnya, dalam bahasa
Indonesia, kita jumpai sekarang kata-kata seperti: Pancasilais yaitu
(orang-orang) yang menerapkan prinsip-prinsip Pancasila dalam
tindak-tanduknya, tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau akhiran –is itu
menjadi lebih produktif sehingga banyak kata Indonesia yang diberi akhiran –is
dengan maksud menyatakan sifat, maka akhiran –is itu pastilah dapat
dimasukkan dalam kelompok akhiran (sufiks) bahasa Indonesia; dengan perkataan
lain, akan kita akui sebagai akhiran bahasa Indonesia seperti juga akhiran –wan
dari bahasa Sanskerta.
Ada lagi akhiran -is
yang dalam bahasa Indonesia seperti yang kita jumpai pada kata-kata: idealis,
egois. Kata-kata itu pun diserap dari bahasa Belanda secara utuh yang
ejaannya disesuaikan dengan ejaan bahasa
Indonesia. Kata-kata itu berasal dari: idealist,
egoist. Jadi, akhiran –is pada kata-kata itu bukan kata sifat. Kata
benda: idealis ialah ‘seseorang yang mementingkan cita-cita, seorang
yang tinggi cita-cita; tidak mendasarkan pekerjaannya atas imbalan materi,
tetapi atas suatu tujuan yang mulia. Seorang dikatakan egois apabila ia
terlalu mementingkan “ego” nya, dirinya sendiri, keinginan dan kepentingan
sendiri.
4. Akhiran –al
Di dalam buku Pedoman Umum Ejaan Yang
Disempurnakan dikatakan sebagai berikut:
-eel, -aal,
-al, menjadi –al
structureel, structural à struktural
formeel formal à formal
rationeel rational à rasional
ideaal ideal à ideal
normaal normal à normal
Kata-akata asing di atas dalam lajur
sebelah kiri ialah kata-kata yang berasal dari bahasa Belanda dan yang pada
lajur kanan berasal dari bahasa Inggris. Jadi, kata-kata dengan bentuk akhir –eel
atau –aal dari bahasa Belanda sama maknanya dengan kata-kata Inggris
yang berakhir –al. Sebelum EYD, kata-kata seperti itu yang berakhir –eel
(Belanda) diindonesiakan menjadi kata dengan akhir –il karena bunyi
akhiran bahasa Belanda cenderung ke bunyi –il. Jadi, kata-kata di atas
menjadi strukturil, formil, rasionil. Berdasarkan ketentuan baru seperti
yang tercantum dalam buku Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan dan buku Pedoman
Pembentukan Istilah, maka kata-kata itu menjadi struktural, formal,
rasional.
Dengan
mengambil bentuk –al bukan –il, kita melihat kesejajaran bentuk
antara kata-kata bentukan yang seasal morfem dasarnya; bentuknya lebih mirip.
Misalnya, formal dan formalitas.
Anda
mungkin bertanya. Apakah semua kata yang dahulu dibentuk dengan –il itu
harus diubah menjadi kata dengan bentuk –al? Jawabannya, kata-kata yang
dahulu berakhir –il seperti kata-kata yang dicontohkan di atas, harus
diubah bentuknya menjadi kata dengan bentuk akhir –al. Namun ada juga
kecualinya.
Kalau
ada dua bentuk yang berbeda karena yang satu berakhir –il dan yang satu
lagi berakhir –al, mengandung arti yang berbeda, maka kedua bentuk tu
tetap dibiarkan seperti itu, artinya kata dengan bentuk akhir –il tidak
usah diubah menjadi kata dengan bentuk –al.
Misalnya, kata moril
dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Belanda moreel dan kata
moral yang diserap dari bahasa Belanda moraal dan bahasa Inggris moral
memiliki makna yang berbeda. Bantuan moril misalnya, tidak bisa diubah
menjadi bantuan moral. Pendidikan moral (=pendidikan akhlak)
tidak bisa diubah menjadi pendidikan moril. Tiap bentuk itu memiliki
maknanya sendiri. Oleh karena itu, kedua bentuk itu tetap dipertahankan.
Demiakian
juga kata idiil (dari bahasa Belanda ideeel) tidak dapat diubah
menjadi ideal (dari bahasa Belanda ideaal; bahasa Inggrisnya ideal)
. Oleh karena masing-masing bentuk itu memiliki makna sendiri, maka kedua
bentuk itu tetap dipertahankan. Misalnya,
suami yang ideal (yang sangat diidam-idamkan oleh setiap wanita),
tentu tidak dapat dikatakan seorang suami yang idiil. Demikian juga,
landasan idiil negara kita ialah Pancasila, tidak dapat diubah dengan
mengatakan landasan ideal negara kita ialah Pancasila.
5. Akhiran –i atau –wi
Dalam bahasa Indonesia,
dikenal kata-kata dengan akhiran –i atau –wi seperti badani,
insani, alami, duniawi. Di samping itu, dikenal juga kata-kata badan,
insan, alam, dunia. Jadi, ada dua macam bentuk yang diserap dari
bahasa Arab yaitu bentuk dasar dan bentuk dengan akhiran –i atau –wi.
Akhiran –i atau –wi
dari bahasa Arab itu bukan dua akhiran atau dua macam akhiran, melainkan satu
akhiran karena keduanya mewakili satu morfem atau merupakan alomorf. Perbedaan
bentuknya itu timbul karena lingkungan yang dimasukinya berbeda. Bila kata
dasar berakhir dengan konsonan, seperti dalam contoh kata di atas, yaitu /n/ dan /m/, maka akhiran yang
muncul ialah /i/, sedangkan bila bentuk dasar itu berakhir dengan vokal /a/,
maka akhiran yang muncul ialah –wi. Bandingkan dengan awalan me-
yang dapat mengalami variasi bentuk : mem-, men-. meng-, meny-, me-, dan
menge-.
Melihat penggunaan akhiran –i
atau –wi dalam bahasa Indonesia dewasa ini, kita dapat mengatakan bahwa
akhiran itu sudah menjadi akhiran bahasa Indonesia karena akhiran iu sudah
dilekatkan pada bentuk-bentuk dasar yang tidak berasal dari bahasa Arab. Kita
mengenal bentuk bahasa Indonesia manusiawi. Bentuk dasar kata itu bukan
berasal dari bahasa Arab, melainkan kata Indonesia yang berasal dari bahasa
Sanskerta. Akhiran –i atau –wi ini mempunyai arti “’ mempunyai
sifat’. Manusiawi artinya
‘mempunyai sifat manusia’.
10. PEMAKAIAN BENTUK-BENTUK DI MANA, DALAM
MANA,
DI DALAM MANA, DARI MANA, DAN YANG MANA
SEBAGAI PENGHUBUNG
Dalam
bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam
mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sebagai penghubung.
Contoh-contohnya sebagai berikut:
(1) Rumah di mana ia tinggal sangat luas.
(2) Karmila membuka-buka album dalam mana
ia menyimpan foto-foto barunya.
(3) Ia membuka almari di dalam mana ia
meletakkan kunci sepeda motornya.
(4) Bila
saya tidak bersekolah, saya tinggal di gedung kecil dari mana suara
gamelan yang lembut dapat terdengar.
(5) Sektor
pariwisata yang mana merupakan tulang punggung perekonomian negara harus
senantiasa ditingkatkan.
Penggunaan
bentuk-bentuk tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing,
khususnya bahasa Inggris. Bentuk di mana sejajar dengan penggunaan where,
dalam mana dan di dalam mana sejajar dengan
penggunaan in which, dari mana sejajajr dengan from which,
dan yang mana sejajar dengan pemakaian which. Dikatakan
dipengaruhi oleh bahasa Inggris karena dalam bahasa Ingris bentuk-bentuk itu
lazim digunakan sebagai penghubung. Misalnya:
(6) The house where he lives is very large
(7) Karmila opened the album in which she
had kept her new photographs.
(8) He opened the cupboard in which he put
the key of his motorbike.
(9) If I
have no class, I stay at the small building from which the sounds of
gamelan can be listened smootly.
(10) The
tourism sector which is the economoical back bone of the country must
always be intensified.
Dalam bahasa Indonesia karena
sudah ada penghubung yang lebih tepat, yaitu kata tempat dan yang sehingga
contoh (!) – (5) di atas seharusnya diubah menjadi:
(1a) Rumah
tempat ia tinggal sangat luas.
(2a) Karmila membuka-buka album tempat ia
menyimpan foto-foto barunya.
(3a) Ia
membuka almari tempat ia menaruh kunci sepeda motornya.
(4a) Bila
saya tidak bersekolah, saya tinggal di gedung kecil tempat suara gamelan
yang lembut dapat terdengar.
(5a)
Sektor pariwisata yang merupakan tulang punggung perekonimian negara
harus senantiasa ditingkatkan.
Dalam
bahasa Indonesia memang terdapat bentuk di mana, dari mana, dan yang
mana, tetapi tidak lazim digunakan sebagai penghubung. Bentuk-bentuk itu
lazimnya dipakai untuk menandai kalimat tanya. Bentuk di mana dan dari
mana dipakai untuk menyatakan ‘tempat’, yaitu ‘tempat berada’
dan ‘tempat asal’, sedangkan yang mana untuk menanyakan ‘pilihan’.
Misalnya:
(11) Saudara bekerja di mana?
(12) Di antara dua mesin tik ini menurut Anda yang
mana yang terbaik?
.
11. KESALAHAN BAHASA
DALAM SURAT RESMI
1. Pendahuluan
Dalam
pergaulan antarmasyarakat, kita tidak terlepas dari saling memberikan informasi
atau saling berkomunikasi. Infomasi itu dapat berupa pemberitahuan,
pertanyaan-pertanyaan, laporan, permintaan, dan lain-lain. Informasi itu dapat
disampaikan kepada pihak lain dengan lisan atau tertulis.
Informasi
dapat disampaikan dengan lisan, jika pemberi informasi berhadap-hadapan atau
bersemuka dengan penerima informasi. Menyampaikan informasi lewat telepon,
radio, dan televisi dapat digolongkan ke dalam penyampaian informasi secara
lisan, sedangkan menyampaikan informasi kepada orang lain dengan menggunakan
surat digolongkan ke dalam penyampaian informasi secara tertulis.
Surat
sebagai sarana komunikasi tertulis mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan sarana komunikasi lisan karena surat merupakan bukti “ hitam di atas
putih”. Di samping itu, kelebihan lainnya adalah pembaca dapat membacanya
berulang-ulang apabila pembaca belum paham
dengan isi surat itu dan biaya yang diperlukan relatif murah bila dibandingkan
dengan biaya yang diperlukan dengan mempergunakan sarana komunikasi yang lain,
seperti telepon atau telegraf.
Selain
sebagai sarana komunikasi, surat juga mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai duta
atau wakil penulis untuk berhadapan dengan lawan bicaranya. Oleh karena itu,
sangat tepat jika dikatakan orang bahwa isi surat merupakan gambaran mentalitas
pengirimnya.
2. Format Surat
Salah
satu yang ikut juga menentukan baik atau kurang baiknya surat adalah formatnya.
Yang dimaksud dengan format surat adalah tata letak atau posisi bagian-bagian
surat. Dalam kegiatan surat-menyurat sehari-hari, kita melihat adanya berbagai
bacam format surat yang digunakan oleh organisasi atau instansi. Hal ini
menunjukkan bahwa dewasa ini belum ada pedoman yang baku. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini dikemukakan beberapa format surat yang dianggap memadai dalam
menulis surat resmi.
Format surat resmi pada instansi-instansi di Indonesia
ada tiga macam variasi, yaitu
(1) Format resmi Indonesia variasi I (setengah
lurus).
(2) Format resmi Indonesia variasi II
(setengah lurus), dan
(3) Format resmi Indonesia variasi III
(lurus).
Perlu juga dikemukakan di sini
bahwa format resmi variasi I tergolong format
resmi Indonesia yang lama. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam kegiatan surat- menyuratnya melazimkan
penggunaan format resmi variasi II, yaitu format resmi Indonesia yang baru.
Perhatikan gambar berikut
FORMAT SURAT RESMI INDONESIA VARIASI I
( Format surat resmi Indonesia lama)
Kepala Surat
Nomor : Tanggal
Lampiran :
Hal :
Yth.
...................
.......................... Alamat
...........................
Salam pembuka,
.......................................................................................................
Paragraf
................................................................................................................... Pembuka
...................................................................................................................
.......................................................................................................
Paragraf
................................................................................................................... Isi Surat
....................................................................................................................
....................................................................................................................
........................................................................................................ Paragraf
.................................................................................................................... Penutup
...................................................................................................................
Tembusan: Salam
penutup
....................... Jabatan
....................... tanda
tangan
.......................
Inisial Nama
jelas
Format setengah lurus
FORMAT SURAT RESMI INDONESIA VARIASI II
( Format surat resmi Indonesia Baru)
Kepala Surat
Nomor : Tanggal
Lampiran :
Hal :
Yth. ...................
.......................... Alamat
...........................
Salam pembuka,
.......................................................................................................
Paragraf
................................................................................................................... Pembuka
...................................................................................................................
....................................................................................................... Paragraf
................................................................................................................... Isi Surat
....................................................................................................................
........................................................................................................ Paragraf
.................................................................................................................... Penutup
....................................................................................................................
Tembusan Salam penutup,
........................ Jabatan
........................ Tanda
tangan
Inisial
Nama jelas
Format setengah lurus (format yang lazim
digunakan oleh Pusat Bahasa)
FORMAT SURAT RESMI INDONESIA VARIASI III
( Format surat resmi Indonesia Baru)
Kepala Surat
Nomor : Tanggal
Lampiran :
Hal :
Yth. ...................
.......................... Alamat
...........................
Salam pembuka,
...................................................................................................................
Paragraf
................................................................................................................... Pembuka
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Paragraf
................................................................................................................... Isi Surat
....................................................................................................................
Paragraf
.................................................................................................................... Penutup
....................................................................................................................
Salam penutup,
Jabatan
Tanda tangan
Nama jelas
Tembusan:
......................................
......................................
Inisial
Format lurus
3. Kesalahan Penulisan Kepala Surat
Sebaiknya,
kepala surat disusun dan dicetak dalam bentuk yang menarik. Dalam kepala surat
tercantum nama kantor, alamat, nomor telepon (apabila ada), nomor kotak pos
(apabila ada); nama kantor cabang, nama bankir, bidang usaha, dan lambang
instansi yang bersangkutan. Beberapa kesalahan bahasa dalam kepala surat
terlihat dalam contoh berikut.
Misalnya:
Bentuk Salah
(1) P.T. ASRI JAYA
Jln. Tanah
Datar 5 – Ciledug – Tangerang – Jawa Barat
PO. Box
519/K.B.Y. Telp. 5.864.238
Kesalahan pertama dalam kepala
surat di atas adalah penulisan P.T., yang menggunakan tanda titik. Singkatan
itu merupakan singkatan nama badan atau
organisasi yang terdiri atas huruf awal kata . Oleh karena itu, singkatan
itu ditulis PT tidak diikuti tanda
titik. Kesalahan berikutnya adalah penulisan Jln., yang mestinya dituliskan
lengkap Jalan. Pembatas unsur-unsur alamat haruslah tanda koma, bukan
tanda hubung seperti di atas Yang benar
adalah Jalan Tanah Datar 5, Cledug, Tangerang, Jawa Barat. PO
Box merupakan kata asing yang berpadanan dengan bahasa Indonesia Kotak
Pos. KBY juga harus ditulis tanpa titik. Kata Telepon. harus ditulis
lengkap, bukan Telp. Dengan nomor telepon tanpa diberi tanda titik atau
spasi, seperti 5.864.238 atau 5 864 238 karena bukan suatu
jumlah, tetapi yang benar adalah 58624238. Kepala surat di atas
disarankan dicetak sebagai berikut.
Seharusnya (Bentuk Baku)
(1a) PT ASRI JAYA
Jalan Tanah Datar 5, Ciledug, Tangerang,
Jawa Barat
Kotak Pos 519/KBY Telepon 5864239
4.
Kesalahan Penulisan Nomor Surat
Nomor
surat sering disebut identitas surat sebab dalam penyimpanan atau pengarsipan
surat cukup dengan disebut nomornya.
Pada surat-surat dinas nomor surat sering
dituliskan sebagai berikut.
Misalnya:
Bentuk Salah
1. Nomor: 456 / MKDU / ’87.-
Kesalahan penulisan nomor
surat itu adalah penyingkatan angka dengan penggunaan tanda koma di atas 87 dan
pencantuman titik dan tanda hubung setelah angka tahun. Kesalahan lain yang
tampak dalam nomor surat itu adalah tanda garis miring yang didahului dan
diikuti spasi. Menurut aturan yang berlaku, tanda garis mirng tidak didahului
dan diikuti spasi. Perhatikan perbaikan yang disarankan.
Seharusnya
(Bentuk Baku)
(1a) Nomor: 456/MKDU/1987
5. Kesalahan Penulisan Lampiran
Bagian
lampiran tidak selamanya harus dicantumkan apabila misalnya, surat itu tidak
melampirkan sesuatu. Jika bersama surat itu ada sesuatu yang dilampirkan, apa
yang dilampirkan itu hendaknya dituliskan dengan lengkap. Akan tetapi, jika
surat tersebut tidak melampirkan barang yang lain, seperti brosur, fotokopi,
atau buku, kata lampiran tidak perlu dicantumkan dalam surat.
Miasalnya:
Bentuk Salah
(1) Nomor :
221/U/1987
Lampiran : - ,, -
Perihal: Rapat Penilaian
Seperti
tampak di atas, kata lampiran dicantumkan tanpa memiliki fungsi yang jelas
karena memang surat itu tidak melampirkan sesuatu. Pencantuman tanda hubung,
tanda petik,atau mungkin angka nol (o) terasa sangat dipaksakan karena secara
sekedar mengisi kekosongan tanpa tujuan yang jelas. Karena tanpa sesuatu yang
dilampirkan, kata lampiran tidak
harus dicantumkan, seperti perbaikan berikut.
Bentuk Baku
(1a) Nomor: 221/U/1987
Perihal: Rapat Penilaian
6. Kesalahan Penulisan Hal Surat
Hal
atau perihal adalah bagian surat yang memuat pokok surat atau inti persoalan
yang akan disampaikan dalam surat itu. Bagian ini berguna untuk memudahkan
pembaca untuk mengetahui persoalan. Bagian ini tidak perlu ditulis
panjang-panjang, tetapi singkat. Walaupun demikian pokok persoalan itu harus dapat
mewakili keseluruhan maksud surat.
Misalnya:
Bentuk salah
(1) Perihal: Penentuan tentang Petugas Pameran
dalam Dies
Natalis yang akan
diadakan 2—3 Mei 1987.
Penerima
surat akan banyak tersita waktunya hanya untuk membaca perihal surat yang
ditulis panjang lebar dan lengkap. Padahal, informasi itu akan diulang lagi di
dalam isi surat. Perhatikan perbaikannya.
Bentuk Baku
(1a) Perihal: Penentuan Petugas Pameran
7. Kesalahan Penulisan Tanggal Surat
Dalam
surat-surat dinas dan surat niaga, sebelum tanggal surat tidak perlu
dicantumkan nama kota sebab nama kota itu sudah tercantum pada kepala surat.
Dalam
surat-surat pribadi atau surat dinas yang tidak menggunakan kepala surat, nama
kota harus dicantumkan sebelum tangal surat. Selanjutnya, penulisan tanggal
surat hendaknya, tanggal, bulan, dan tahun ditulis secra lengkap. Tanggal 28
Oktber 1985 tidak disingkat menjadi 28 Okt. 1985 atau diganti dengan
lambang bilangan menurut urutannya, seperti (5) 28 -10 – ’85, (6) 10
– 11 – 1985, tetapi harus ditulis lengkap (5a) 28 Oktober 1985 dan
(6a) 10 November 1985.
8. Kesalahan Penulisan Alamat Surat
Selain
dicantumkan pada sampul surat, alamat surat juga perlu dicantumkan pada lembar
surat. Alamat surat hendaknya ditulis dengan jelas, singkat, dan lengkap.
Penulisan
alamat surat yang efisien dan efektif dapat dilakukan dengan aturan-aturan
sebagai berikut.
(1) Alamat
tidak diawali dengan kata kepada sebab siapa pun sudah mengetahui bahwa alamat
yang ditulis itu adalah alamat yang dituju. Selain itu, kata kepada berfungsi sebagai kata penghubung
intrakalimat yang menyatakan tujuan, sedangkan alamat surat bukan berupa
kalimat, sama halnya dengan alamat pengirim yang tidak perlu menggunakan kata dari.
2) Alamat pada lembar surat ditulis di sebelah
kiri di antara perihal dan salam pembuka dengan tidak diikuti tanda baca apa
pun.
(3) Kata
sapaan seperti Bapak, Ibu, Saudara, dan Tuan tidak perlu ditulis
di depan gelar, pangkat, dan jabatan. Kata sapaan digunakan jika diikuti
langsung oleh nama orang yang dituju.
Bentuk
Salah
(1) Kepada
Yth.
Bapak Direktur CV Kencana
Jln. Wonosobo No, 40
SURABAYA
(2) Kepada
Yth.
Bapak Kepala Kantor Wilatah Ditjen
Binaguna
Propinsi Jawa Barat
Jln. Taman Sari No. 32
BANDUNG
(3) Kepada
Yth.
Bapak Drs. Edy Sanjaya
Manjer Personalia PT Dahana
Jln. Gajah Mada No. 127
UJUNG PANDANG
(4) Kepada
Yth.
Bapak Kolonel Sumengkar
Jl. Hasanudin IV/12
Kebon Kangkung
BANDUNG
(5)Yth.
Ibu Ir. Sulistiani
Staf Bagian Perencanaan
Direktorat Jalan Raya
Depertemen Pekerjaan Umum
Jalan Sutisna 15
Jakarta
Kesalahan
pada (1) adalah penggunaan kata kepada dan Bapak. Selain itu,
kata jalan hendaknya ditulis lengkap, tidak disingkat Jln. Nama kota Surabaya
tidak perlu ditulis dengan kapital seluruhnya, tetapi awalnya saja yang
kapital, yaitu Surabaya.
Kesalahan
pada (2) sama seperti pada (1). Garis bawah dan segala tanda baca pada nama
kota Bandung merupakan tanda yang
tidak akan menambah informasi.
Kesalahan
pada (3) sama seperti (1). Gelar akademik Drs. Tidak perlu didahului
kata Bapak. Kesalahan (4) adalah pengunaan kata kepada dan
pemakaian kata sapaan Bapak yang berimpit dengan pangkat, kolonel.
Kesalahan
pada (5) adalah penggunaan kata Ibu dan gelar akademik Ir. Yang
berimpit. Perhatikan perbaikannya.
Seharusnya (Bentuk Baku)
(1a) Yth.
Direktur CV Kencana Wungu
Jalan
Wonosobo No. 40
Surabaya
(2a) Yth.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen Binaguna
Propinsi
Jawa Barat
Jalan
Taman Sari No. 32
Bandung
(3a) Yth.
Drs. Edy Sanjaya
Manajer
Personalia PT Dahana
Jalan
Gajah Mada No. 127
Ujung
Pandang
(4a) Yth.
Kolonel Sumengkar
Jalan
Husada IV/12
Kebon
Kangkung
Bandung
(5a) Yth. Ir. Sulistiani
Staf
Bagian Perencanaan
Direktorat
Jalan Raya
Depertemen
Pekerjaan Umum
Jalan
Sutisna 15
Jakarta
9. Kesalahan Penulisan Salam Pembuka
Ungkapan
salam pembuka yang lazim digunakan adalah Dengan hormat (dengan d
kapital, h kecil), diikuti tanda koma. Akan tetapi, dalam kenyataannya,
penulisan salam pembuka tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Mungkin Anda
bertanya “Mengapa diakhiri dengan tanda koma, padahal kalimat berikutnya
dimulai dengan huruf kapital? Bukankah
lebih tepat dengan tanda titik?
Memang
apa yang dikemukakan itu beralasan, tetapi dalam hal ini ada kesepakatan bahwa
salam pembuka surat dan salam penutup dituliskan dengan tanda koma di
belakangnya.
Misalnya:
Bentuk Salah Bentuk
Baku
(1) Dengan hormat (1a) Dengan hormat,
Yang perlu juga dingatkan di
sini ialah agar kita tidak menyingkatkan kata sapaan dengan hormat, itu
menjadi DH. Atau Dh., dan sebagainya.
Kita ingin menghomati orang dengan kata sapaan itu, tetapi dengan
menyingkatkannya kita seolah-olah menarik kembali penghormatan kita itu karena
penyingkatan seperti itu rasanya kurang sopan, kurang adab.
10. Kesalahan Penulisan Paragraf Pembuka
Kalimat-kalimat
yang lazim dipakai oleh penulis surat sebagai paragraf pembuka sangat
bervariasi. Marilah kita amati satu per
satu.
Bentuk Salah
- Bersama ini kami beritahukan bahwa ...
- Kami mohon bantuan daripada Tuan ...
- Bersama ini kami mengundang ...
- Dengan ini kami mengirimkan satu karung beras Cianjur untuk contoh.
Kesalahan pada (1) adalah
penggunaan bersama ini, padahal surat tersebut hanya memberitahukan
sesuatu, tidak melampirkan atau mengirimkan barang lain. Ungkapan bersama
ini artinya ‘bersama-sama dengan ini atau ‘seiring dengan ini’. Jadi tidak
dapat dikatakan seiring dengan surat ini kami beritahuka ... sebab
pemberitahuan itu ridak diseiringkan dengan surat, melainkan dituliskan di
dalam surat itu. Ungkapan bersama ini digunakan untuk surat pengantar
sebab dalam surat pengantar, dituliskan apa yang dirimkan seiring dengan surat
pengantar itu. Kebiasaan menulis ungkapan bersama ini, kemudian ditiru
orang bila menulis surat biasa yang bukan surat pengantar.
Kesalahan pada (2) adalah
penggunaan bantuan daripada Tuan. Sebenarnya, cukup dituliskan bantuan Tuan karena kata
depan daripada digunakan untuk
membandingkan dua hal atau masalah.
Kesalahan pada (3) adalah
penggunaan kata bersama ini karena surat tersebut hanya mengundang.
Kesalahan pada (4) adalah
penggunaan dengan ini, yang seharusnya diganti dengan bersama ini
karena surat tersebut mengirimkan sesuatu.
Seharusnya (Bentu Baku)
(1a) Dengan ini kami beritahukan …
(2a) Kami mohon bantuan Tuan …
(3a) Dengan ini kami mengundang …
(4a) Bersama surat ini kami krimkan …
Isi Surat Sesungguhnya
Isi
atau pokok surat sesungguhnya memuat sesuatu yang diberitahukan, dilaporkan,
ditanyakan, diminta, dan lain-lain. Untuk menghindari salah tafsir dan demi
efisiensi, isi surat hendaknya singkat dan jelas. Hindari penulisan kalimat
yang bertele-tele.
11. Kesalahan Penulisan Paragraf Penutup
Dalam paragraf penutup surat
dijumpai pemakaian kalimat sebagai berikut.
Bentuk Salah
(1) Kami mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dan perhatiannya.
(2) Atas bantuan dan perhatian Bapak, kami
menghaturkan banyak terima kasih.
(3) Demikian surat ini, atas perhatian
bapak/ibu kami sampaikan terima kasih.
Kesalahan pada (1) adalah
penggunaan bentuk perhatiannya. Perhatian siapa? Perhatian penerima
surat yang dimintai batuan? Kalau ia yang dimaksud, maka bukan –nya yang seharusnya dipakai, melainkan Bapak
atau Ibu, atau Saudara, atau Anda karena orang yang
disurati itu adalah Bapak, Ibu, Saudara, atau Anda (orang ke dua)
bukan nya = dia atau ia
(orang ke tiga).
Kesalahan pada (2) adalah penggunaan
kata menghaturkan. Kata menghaturkan
bukan kata bahasa Indonesia. Dalam kamus tidak ada kata hatur, menghaturkan yang seperti itu
maknanya. Kata itu dipinjam dari bahasa daerah (Sunda, Bali) dipergunakan dalam
surat karena orang ingin menyatakan kehormatannya kepada orang yang menerima
surat. Kata mengucapkan menurut anggapannya mungkin tidak halus, atau
kurang hormat, sehingga dipakainya kata bahasa daerah itu.
Kesalahan pada (3) adalah
penggunaan kata bapak/ibu. Kata bapak/ibu pada kalimat ini
digunakan sebagai kata sapaan. Oleh karena itu, kata bapak/ ibu semestinya
ditulis dengan huruf kapital. Jadi, ditulis Bapak/Ibu. Kesalahan
berikutnya adalah penghilangan tanda baca koma di antara bapak/ibu dan kami.
Semestinya pada kalimat ini dibubuhi tanda baca koma untuk menghindari salah
baca di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Dalam bahasa Indonesia tidak
ada kata hatur. Ada kata atur, tetapi artinya lain sekali. Oleh
karena itu, gunakanlah kata mengucapkan yang dapat berarti 1)
mengatakan, 2) menyampaikan. Jadi, kata itu tidak terbatas pemakaiannya pada
pada bahasa lisan saja. Kalau barbahasa Indonesia, perasaan bahasa Indonesialah
yang dipakai. Bila perasaaan dalam berbahasa daerah yang dibawa ke dalam bahasa
Indonesia, maka ada kecenderungan untuk menggantikan kata-kata Indonesia dengan
kata bahasa daerah.
Ada
yang menanyakan, kata anda dalam surat ditulis dengan A kapital (Anda)
atau dengan huruf kecil (anda)? Pusat Bahasa telah mengambil keputusan
bahwa kata anda yang dipakai dalam surat untuk menyapa orang yang
menerima surat sebaiknya dituliskan dengan A kapital, Jadi, Anda,
walaupun kata anda itu sejajar dengan kata engkau (dalam makna
yang lebih halus, hormat).
Pertimbangan
mengunakan huruf kapital pada kata anda adalah jika kita menyapa
seseorang yang lebih rendah kedudukannya dengan kita atau orang yang setara
derajatnya dengan kita digunakan kata Saudara,(dengan S kapital),
maka kurang pada tempatnya bila kita menyapa orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita
dengan kata anda (huruf a pertama
huruf kecil). Oleh karena itu, diputuskan menuliskan kata itu dengan A kapital,
yaitu Anda.
Perhatikan perbaikannya sebagai berikut.
Seharusnya
(Bentuk baku)
(1a) Kami
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan perhatian Bapak/ Ibu/ Saudara.
(2a) Atas bantuan dan perhatian Bapak, kami
mengucapkan banyak terima kasih.
(3a) Demikian surat ini , atas perhatian Bapak/
Ibu, kami sampaikan terima kasih.
12.
Kesalahan Penulisan Salam Penutup
Salam
penutup yang sering dipakai sebagai berikut.
Bentuk Tidak Baku Bentuk
Baku
(1) Hormat kami (1a)
Hormat kami,
(2) Wasalam (2a) Wasalam,
Kesalahan pada (1) dan (2)
adalah tidak menggunakan tanda baca koma, yang seharusnya menggunakan tanda
baca koma (,).
13 Kesalahan Penulisan Tembusan
Penulisan
kata Tembusan: (dengan tidak digarisbawahi) cukup efektif bila
dibandingkan dengan ditulis Tembusan: yang digarisbawahi atau Tembusan
disampaikan kepada: Selain itu, dalam rincian tembusan orang
mencantumkan sebagai laporan, sebagai undangan, untuk diketahui, harap
dilaksanakan, dan arsip. Semua tambahan itu tidak diperlukan karena
tanpa embel-embel tersebut, yang ditembusi surat serta merta mengetahui apa
yang harus dikerjakannya. Rincian terakhir dalam tembusan, arsip juga
tidak perlu karena setiap surat dinas sudah lazim memiliki arsip.
Mari kita bandingkan bentuk salah dan bentuk benar
berikut.
Bentuk salah
Tembusan: disampaikan kepada:
- Direktur Bank Indonesia Pusat (sebagai laporan)
- Kepala Pusdiklat Bank Indonsia (sebagai undangan)
- Drs. Mahaban, S.H. (harap dilaksanakan)
- Arsip.
Bentuk yang dianjurkan sebagai berikut.
Seharusnya (Bentuk Baku)
Tembusan:
- Direktur Bank Indonesia
- Kepala Pusdiklat bank Indonesia
- Drs. Marhaban, S.H.
Dalam surat resmi harus
dicantumkan inisial.
Inisial adalah tanda pengenal
nama penyusun konsep surat dan pengetik
surat tersebut. Inisial ini biasanya diambil dari huruf terdepan nama yang
bersangkutan.
Misalnya:
RK/YP
RK
singkatan dari Rudi Kurniawan (pengonsep)
YP singkatan dari Yuni Parwati (pengetik)
KATA DAN PEMAKAIANNYA
Sering kata digunakan secara tidak
tepat dalam kalimat baik karena artinya
yang tidak tepat atau tidak tepat
benar, atau karena penggabungan kata itu dengan kata lain dalam sebuah frase,
atau kalimat. Kita perhatikan contoh-contoh beserta keterangannya di bawah ini.
1. hadirin
Kata
hadirin dipungut dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, artinya ‘semua
yang hadir laki-laki’. Untuk perempuan, dalam bahasa Arab digunakan hadirat (
dengan lafal a panjang pada suku -rat). Dalam pemakaiannya bahwa kata hadirin
yang berasal dari bahasa Arab itu
mengalami pergeseran makna dalam bahasa Indonesia. Kata hadirin dalam bahasa
Indonesia dipakai baik untuk laki-laki
maupun perempuan. Orang yang berpidato
menyapa orang yang hadir dalam
pertemuan itu dengan kata : Hadirin yang
saya hormati, atau Hadirin yang saya muliakan.
Seperti
yang diklatakan di atas, kata hadirin berarti’semua yang hadir’. Karena itu, tidak perlu
diletakkan kata para di depannya seperti
kebiasaan sekarang ini. Sangat umum kita
mendengar pembawa acara atau orang yang
berpidato mengucapkan kata sapaannnya :
Para hadirin yang saya hormati. Penggunaan kata para di depan kata hadirin itu
sifatnya pleonastic (berlebih-lebihan).
Bentuk
hadirat sebagai pasangan hadirin tidak dipakai dalam bahasa Indonesia. Namun,
kadang-kadang orang yang biasa
menggunakan bahasa Arab menggunakan juga kata itu dalam berpidato
2. suatu dan sesuatu
Kata
suatu dipakai untuk menyatakan benda yang belum tentu; dapat dibandingkan
dengan one dalam bahasa Inggris seperti
dalam pemakaian berikut: one day (Inggris) = pada suatu hari (Indonesia).
Kata
sesuatu dipakai untuk menggantikan benda
yang belum tentu baik dalam fungsi
sebagai subjek maupun sebagai objek kata
kerja transitif; dapat dibandingkan dengan something dalam bahasa Inggris. Kata
sesuatu dipakai sebagai kata yang
berdiri sendiri dalam kalimat. Jadi, sebenarnya tidak dipakai di daam frase
demgan kata benda di belakangnya seperti yang sering dijumpai dalam pemakaian
bahasa dewasa ini.
Contoh pemakain suatu:
Guru bercerita tentang suatu peristiwa
yang menarik.
Pada suatu kesempatan yang baik, akan
kuceritakan hal itu kepadamu.
Suatu kesalahan yang terjadi tanpa
disengaja masih dapat dimaafkan.
Contoh pemakaian sesuatu:
Kalu pekerjaanmu sudah selesai, aku akan
menceritakan sesuatu yang menarik kepadamu.
Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Saya tak mengharapkan sesuatu dari
Saudara.
Perhatikan
perbedaan pemakaiannya dalam kalimat-kalimat di atas. Ada dua kesalahan yang
sering kita jumpai dewasa ini. Alih-alih mengatakan suatu hal, suatu peristiwa, suatu kesalahan.
Dewasa ini orang sring mengatakan
sesuatu hal, sesuatu peristiwa, sesuatu kesalahan. Seperti sudah
dukatakan di atas, dengan contoh pemakaiannya dalam kalimat, awalan se- tidak
perlu dilekatkan pada kata suatu bila kata itu diikuti langsung oleh kata benda.
3. masing-masing dan tiap-tiap
Kata
masing-masing dewasa ini dipakai tidak seperti yang tercantum di dalam kamus.
Kalau kita periksa Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta.
Akan kita lihat keterangan sebagai berikut.
masing-masing,
tiap-tiap orang; seorang-seorang; sendiri-sendiri; mis. Masing- masing mengemukakan keberatannya; pulang ke
ruimah masing-masing.
Jelas
dalam contoh di atas bahwa kata masing-masing
tidak dipakai di depan kata benda, melainkan dipakai sebagai kata yang
berduri sendiri seperti tampak pada contoh pertama.
Sekarang
sudah umum orang mengatakan atau menulis masing-masing anak, masing-masing
peserta, masing-masing negra alih-alih
mengatakan atau menulis tiap-tiap anak, tiap-tiap peserta, tiap-tiap
negara. Jadi, kata tiap-tiaplah yang
seaharusnya dipakai bila di belakngnya diletakkan kata benda, bukan kata
masing-masing.
Bandingkan kalimat-kalimat yang
berpasangan di bawah.
1)
a.
Tiap-tiap murid diberi oleh gurunya sebuah buku.
b.
Murid-murid itu masing-masing diberi oleh gurunya sebuah buku.
2) a. Dalam konferensi itu , tiap-tiap negara
diwakili oleh menteri luar negerinya. b.
Dalam konferensi itu, negara-negara itu masing-masing diwakili oleh menteri
luar negerinya.
Dalam
contoh-contoh di atas dapat kita lihat bagaimana seharusnya kata masing-masing
dan tiap-tiap digunakan. Kedua kata itu memang mengandung makna yang sama,
tetapi pemakainnya tidak sama. Kalu diikuti oleh kata benda, maka kata
tiap-tiaplah yang digunakan, sedangkan jika menggantikan kata benda yang sudah
disebutkan sebelumnya, maka kata masing-masinglah yang digunakan.
Kesalahan
penggunaan kata masing-masing seperti yang telah dikemukakan itu mula-mula merupakan sebuah salah kaprah; lama kelamaan karena
sering digunakan seperti itu, berubah pemakaiannya dari yang seharusnya. Kalau kita ingin menggunakan bahasa secara cermat,
hendaklah kita gunakan kata itu masing-masing seperti yang dicontohkan di atas.
4. nyaris
dan hampir
Kata
nyaris bersinonim dengan kata hampir, tetapi pemakainnya tidak sama.
Artinya tidak selalu kata hampir dalam
sebuah kalimat dapat diganti dengan kata
nyaris.
Kata nyaris dipakai dalam pengertian
‘hampir’, tetapi dal;am arti yang kurang menguntungkan.
Perhatikan
contoh pemakaiannya dalam kalimat-kalimat di bawah.
Karena
kurang pandai berenang, anak itu nyaris tenggelam.
Orang
itu nyaris tertabrak mobil karena kurang hati-hati.
Kata
nyaris tak boleh dugunakan dalam pengertian yang menguntungkan seperti nyaris menang, nyaris mendapat
keuntungan.
5. takdir dan nasib
Kedua
kata itu biasanya dikacaukan orang saja pemakainnya. Mungkin hal itu timbul
karena di dalam kamus biasanya diberikan arti bolak-balik : takdir=nasib, dan
nasib=takdir, sehingga seolah-olah kedua patah kata itu sama saja artinya.
Takdir
adalah suatu ketetapan Tuhan, tidak dapat berubah dan tidak dapat diubah oleh
manusia di luar kekuasaannya. Bahwa saya lahir sebagai laki-laki, sebagai orang
Indonesia, berkulit sawo matang, sebagai anak pertama dalam keluarga, itu
merupakan takdir. Tuhan memang sudah menetapkan demikian. Demikian juga hari
kematian saya sudah ditetapkan oleh Tuhan saatnya, tidak akan bergeser sedetik
ke depan atau ke belakang. Saat itu suatu rahasia yang tidak kita ketahui.
Nasib
dapat berubah. Tuhan berfirman tidak
akan berubah nasib suatu kaum kalau mereka sendiri tidak mau mengubahnya. Orang
selalu ingin lebih baik, tetapi hidup yang lebih baik itu tidak akan terwujud
bila tiidak ada usaha ke arah itu. Kalau kita tetap miskin, tidak dapat kita
mengatakan memang beginilah nasib saya ditentukan oleh Tuhan padahal
tidak ada usaha untuk memperbaiki nasib itu; misalnya dengan bekerja keras,
dengan menambah ilu. dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar